Reporter: Siti Masitoh | Editor: Herlina Kartika Dewi
KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Realisasi belanja Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) hingga 20 September 2025 baru mencapai Rp 657,74 miliar, atau 46,75% dari pagu Rp 1.400,63 miliar.
Realisasi belanja APBD ini lebih rendah bila dibandingkan September 2024 yang mencapai Rp 821,66 triliun atau 57,04% dari pagu.
Mengutip portal data Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan, Kementerian Keuangan mencatat, realisasi tersebut terdiri dari belanja pegawai mencapai Rp 298,23 miliar atau 57,86% dari pagu, belanja barang dan jasa Rp 176,19 atau 42,8% dari pagu, belanja modal Rp 47,86 miliar atau 23,3% dari pagu, dan belanja lainnya Rp 132,44 miliar atau 49,26% dari pagu.
Baca Juga: LPEM UI: Lambatnya Realisasi Belanja APBD Dipicu Ketergantungan pada Transfer Pusat
Sementara itu, transfer ke daerah dan dana desa (TKDD) dari pemerintah pusat baru mencapai Rp 505,26 miliar, atau 56,96% dari pagu Rp 887,07 miliar.
Realisasi TKDD ini juga lebih rendah bila dibandingkan September 2024 yang mencapai Rp 638,68 triliun, atau 72,4% dari pagu.
Kemudian, pendapatan asli daerah (PAD) mencapai Rp 230,81 miliar atau 57,12% dari pagu Rp 404,09 miliar, lebih rendah dari September 2024 yang mencapai Rp 284,20 triliun atau 71,97% dari pagu.
Serta pendapatan lainnya mencapai Rp 34,25 miliar, atau 57,59% dari pagu Rp 59,49 miliar, atau lebih rendah dari September 2024 yang mencapai Rp 46,9 triliun atau 53,6% dari pagu.
Kepala Pusat Makroekonomi dan Keuangan Institute for Development of Economics and Finance (Indef), M Rizal Taufikurahman menyampaikan, realisasi belanja APBD yang baru mencapai 46,75% hingga 20 September 2025 mencerminkan persoalan klasik di daerah, di mana serapan anggaran cenderung lambat di semester I dan menumpuk di akhir tahun.
Baca Juga: Realisasi Belanja APBD Melambat, Ekonom Ingatkan Risiko pada Ekonomi Daerah
Padahal dari sisi pendapatan, baik PAD maupun transfer pusat (TKDD) sudah terkumpul lebih besar yakni dengan total Rp 779,33 triliun, dibanding realisasi belanja Rp 654,74 triliun, sehingga masalah utamanya bukan keterbatasan fiskal, melainkan eksekusi yang lemah.
“Hal ini biasanya dipicu oleh proses pengadaan yang lambat, perencanaan program yang kurang matang, serta keterbatasan kapasitas birokrasi daerah,” tutur Rizal kepada Kontan, Minggu (21/9/2025).
Rizal menyebut, dampak lambatnya realisasi belanja tersebut terhadap ekonomi daerah cukup signifikan. Menurutnya, jika belanja pemerintah daerah yang seharusnya menjadi motor pertumbuhan tidak berfungsi optimal, maka multiplier effect ke sektor konstruksi, UMKM, maupun konsumsi rumah tangga tertunda.
“Ketika belanja baru dikebut di akhir tahun, kualitas output seringkali menurun dan dunia usaha lokal kesulitan mengatur arus kas,” ungkapnya.
Akibatnya lanjut Rizal, APBD lebih terlihat sebagai administrasi rutin daripada instrumen fiskal yang proaktif menopang ekonomi daerah.
Selanjutnya: Penerapan Tarif PPh Final UMKM 0,5% Disarankan Permanen, Ini Alasannya
Menarik Dibaca: 5 Tanaman Pembawa Sial yang Harus Disingkirkan dari Rumah, Ada Mawar!
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News