kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45898,78   -24,72   -2.68%
  • EMAS1.319.000 0,00%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Rasio utang terhadap ekspor, lebih besar pasak daripada tiang


Minggu, 11 Februari 2018 / 20:26 WIB
Rasio utang terhadap ekspor, lebih besar pasak daripada tiang
ILUSTRASI. Deputi Gubernur Senior BI Mirza Adityaswara


Reporter: Ghina Ghaliya Quddus | Editor: Yudho Winarto

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Saat ini, rasio utang luar negeri pemerintah terhadap produk domestik bruto (PDB) masih dalam kondisi normal yakni 34%. Namun, Indonesia perlu meningkatkan ekspor barang dan jasa agar bisa mengurangi rasio utang luar negeri terhadap pos penerimaan transaksi berjalan atau current account receipts.

Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia Mirza Adityaswara mengatakan, saat ini rasio utang terhadap pos penerimaan transaksi berjalan Indonesia mencapai 170%, “Kita perlu mendorong ekspor dan mendorong investasi yang orientasi ekspor supaya rasio utang luar negeri terhadap penerimaan ekspor barang dan jasa menjadi lebih baik," kata Mirza pekan lalu.

Sebagai perbandingan, Thailand memiliki pendapatan ekspor yang besar, sehingga rasio utang terhadap pos penerimaan transaksi berjalan di bawah 100%, sementara rasio utang terhadap PDB Thailand sebesar 44%.

Direktur Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Mohammad Faisal mengatakan, kondisi kemampuan pembayaran utang Indonesia bisa dikatakan mengkhawatirkan. Pertama, hal ini disebabkan oleh ekspor barang jasa lebih kecil daripada utang.

“Kalau dibandingkan ekspor barang dan jasa kan 170%. Artinya, kemampuan bayar utang dari ekspor barang jasa lebih besar pasak daripada tiang. Mesti digenjot penerimaan dari ekspor supaya bisa di bawah 100% untuk bisa kejar kembalikan utang,” kata Faisal kepada KONTAN, Minggu (11/2).

Kedua, kekhawatirannya lagi lantaran porsi utang luar negeri (ULN) yang masih cukup besar. Ia mengatakan, dibandingkan dengan negara lain, memang banyak yang di atas 100% utang terhadap PDB-nya, sebut saja Jepang, tetapi di sana mayoritas adalah utang dalam negeri.

Ketiga, pertumbuhan ULN yang makin cepat. Hal ini juga turut didorong oleh komodo bonds yang diterbitkan korporasi untuk pembangunan infrastruktur.

“Makin lama makin besar. Ini yang kami khawatirkan karena ekspor barang dan jasa kita jauh di bawah negara2 tetangga seperti Singapura, Malaysia, Thailand, yang banyak penerimaan dari ekspor walau sekarang ekspor kita membaik,” jelasnya.

Dengan percepatan pertumbuhan ekspor barang dan jasa yang tidak sepadan dengan pertumbuhan ULN, menurut Faisal, semakin lama beban utang dari tahun ke tahun makin besar di saat kemampuan membayar utangnya tidak semakin membaik.

Ia mencatat, tahun 2018 dibandingkan 2017 memiliki kenaikan jatuh tempo utang dan bunganya sampai 350% sehingga di 2018 ini Indonesia harus bayar utang dan bunga utang sekitar Rp 600 triliun. Dengan demikian, Indonesia tidak bisa dikatakan ada di posisi aman untuk pembayaran utang.

“Lalu yield obligasi kita juga paling tinggi di emerging market. Artinya, beban APBN untuk bayar akan lebih besar. Ini anomali karena rating kita naik, tapi kok yield makin mahal, harusnya makin lama makin turun,” katanya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×