kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.520.000   0   0,00%
  • USD/IDR 16.200   0,00   0,00%
  • IDX 7.066   -30,70   -0,43%
  • KOMPAS100 1.055   -6,75   -0,64%
  • LQ45 830   -5,26   -0,63%
  • ISSI 215   0,27   0,12%
  • IDX30 424   -2,36   -0,55%
  • IDXHIDIV20 513   -0,30   -0,06%
  • IDX80 120   -0,79   -0,65%
  • IDXV30 124   -1,30   -1,04%
  • IDXQ30 142   -0,32   -0,23%

Putusan KPPU soal Indosiar bertentangan dengan UU Penyiaran


Rabu, 28 Desember 2011 / 13:40 WIB
ILUSTRASI. Pasar sewa perkantoran sedang mengalami kelesuan.


Reporter: Noverius Laoli, Umar Idris | Editor: Umar Idris

JAKARTA. Koalisi sejumlah LSM di bidang penyiaran, yaitu Koalisi Independen untuk Demokratisasi Penyiaran (KIDP), menilai, putusan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) tentang akuisisi atas stasiun televisi Indosiar bertentangan dengan Undang-Undang Penyiaran. "Kami berbeda pendapat dengan KPPU dan menilai putusan tersebut tidak menyelesaikan persoalan," kata Eko Maryadi, Koordinator KIDP, dalam rilis pers, Rabu (28/12).

KIDP menilai putusan KPPU itu hanya sepihak dan dibuat hanya berdasarkan Undang-Undang No. 5 tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Untuk menilai keabsahan akuisisi televisi Indosiar oleh pemilik SCTV, peraturan yang tidak bisa dikesampingkan adalah UU No.32 Tahun 2002 tentang Penyiaran karena bersifat lex spesialis. Putusan KPPU ini juga bertentangan dengan pendapat hukum (legal opinion) Komisi Penyiaran Indonesia, yang sebelumnya telah menyatakan bahwa akuisisi ini bertentangan dengan UU Penyiaran.

Sekadar mengingatkan, pada 21 Desember 2011 lalu, Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) menyatakan akuisisi stasiun televisi Indosiar (PT. Indosiar Karya Media) oleh pemilik stasiun televisi SCTV (PT Elang Mahkota Teknologi Tbk) tidak melanggar peraturan. Menurut KPPU, penilaian tersebut dibuat dengan mempertimbangkan nilai omset dan aset gabungan dua perusahaan tersebut, yang diperkirakan tidak melanggar batasan minimal di dalam peraturan perundang-undangan.

Namun, UU Penyiaran telah mengatur dengan jelas seputar pengalihan, akuisisi, dan transaksi jual beli lembaga penyiaran, yakni pada pasal 18 ayat (1) dan Pasal 34 ayat (4). Pasal 18 ayat (1) UU Penyiaran menyatakan kepemilikan dan penguasaan Lembaga Penyiaran Swasta oleh satu orang atau satu badan hukum, di satu wilayah siaran atau di beberapa wilayah siaran adalah dibatasi. Sedangkan Pasal 34 ayat (4) dan penjelasannya, menegaskan bahwa Izin Penyelenggaraan Penyiaran dilarang dipindahtangankan dengan cara dijual, dialihkan kepada badan hukum lain atau perseorangan lain di tingkat manapun. Pasal 34 ayat 4 UU Penyiaran juga menyatakan pemerintah dapat mencabut Izin Penyelenggaraan Penyiaran (IPP) apabila terjadi pemindahtanganan.

KIDP berpendapat batasan di dalam UU Penyiaran tersebut adalah prinsip yang wajib diikuti oleh semua lembaga pemerintah dan masyarakat dalam menilai sah tidaknya akuisisi, merger dan sebagainya dalam dunia penyiaran. "Prinsip ini penting dan harus dijunjung tinggi karena berdasarkan pada kenyataan bahwa lembaga penyiaran menggunakan spektrum publik bernama frekuensi yang merupakan sumber daya alam terbatas dan kekayaan nasional yang harus dijaga, dilindungi oleh negara, serta dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat," tambah Wahyu Dhyatmika, Wakil Koordinator KIDP.

KIDP pun menilai putusan KPPU bersifat parsial dan bertentangan dengan UU Penyiaran sehingga tidak dapat digunakan untuk menilai akuisisi SCTV terhadap Indosiar. KIDP juga menolak penjelasan KPPU yang menilai ijin pemerintah dan slot (frekuensi) yang kini terbatas akan "berkembang dan disediakan oleh Pemerintah". Penilaian ini jelas bertentangan dengan UU Penyiaran.

Berdasarkan UU Penyiaran, setiap transaksi oleh Lembaga Penyiaran Swasta tidak serta merta memperjualbelikan frekuensi. Frekuensi tersebut harus dikembalikan bersama Izin Penyelenggaraan Penyiaran (IPP) kepada negara (dalam hal ini Kementerian Komunikasi dan Informasi).

Selain itu, meski tak lama lagi dunia penyiaran Indonesia akan memasuki era digital, itu bukan berarti dengan sendirinya jumlah frekuensi akan berlipatganda secara tak terbatas. Di era digital pun, jumlah frekuensi –meski lebih banyak dari saat ini—tetap akan terbatas dan karena itu, perlu diatur dengan ketat.

Sikap KIDP ini dikeluarkan karena para pemerhati masalah penyiaran itu menilai saat ini sedang terjadi penguasaan dan/atau pemusatan kepemilikan usaha penyiaran, termasuk penguasaan opini publik, yang berpotensi membatasi, mengurangi kebebasan warga negara dalam menyatakan pendapat, memperoleh informasi, dan hak berekspresi yang bertumpu pada asas keadilan, demokrasi dan supremasi hukum.

Beberapa contoh yang disampaikan oleh KIDP dalam rilisnya, penguasaan dan kepemilikan usaha penyiaran antara lain pemberian, penjualan dan pengalihan Izin Penyelenggaraan Penyiaran (IPP) dalam kasus PT Visi Media Asia Tbk yang menguasai PT Cakrawala Andalas Televisi (ANTV) dan PT Lativi Media Karya (TVOne). Ada pula pemberian, penjualan dan pengalihan Izin Penyelenggaraan Penyiaran (IPP) dalam kasus PT. Media Nusantara Citra Tbk yang menguasai/memiliki PT. Cipta Televisi Pendidikan Indonesia (TPI/MNC TV), PT. Rajawali Citra Televisi Indonesia (RCTI) dan PT. Global Informasi Bermutu (Global TV), yang dilakukan sekitar Juni 2007.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective Bedah Tuntas SP2DK dan Pemeriksaan Pajak (Bedah Kasus, Solusi dan Diskusi)

[X]
×