Reporter: Dadan M. Ramdan | Editor: Dadan M. Ramdan
JAKARTA. Antrean panjang peserta BPJS Kesehatan tidak hanya terjadi di rumahsakit. Sejak beroperasi, kantor-kantor BPJS Kesehatan setiap hari selalu dipadati oleh calon peserta yang ingin mendaftar. Pemandangan ini seperti terlihat di Kantor BPJS Kesehatan Cabang Jakarta Barat, di Palmerah. Meski bulan puasa, animo masyarakat untuk menjadi peserta BPJS Kesehatan masih tinggi.
Salah satu yang ingin mendaftar adalah Siti Aisyah (28), warga Meruya Selatan, Kembangan, Jakarta Barat. Pada Kamis (10/7) pekan lalu, ia datang pagi-pagi supaya kebagian nomor antrean. Maklum, ia mendapat cerita dari tetangganya, yang harus bolak-balik gara-gara datang kesiangan. “Sebelum daftar, saya tanya-tanya dulu sama tetangga, termasuk nanya juga apa saja syaratnya,” cerita Siti.
Kantor BPJS Kesehatan Cabang Jakarta Barat membatasi pendaftar hingga 250 orang setiap hari atau hingga waktu operasional selesai. Pada bulan Ramadhan, waktu operasional cuma sampai pukul 15.00.Meski harus rela menunggu cukup lama, Siti akhirnya terdaftar sebagai peserta BPJS Kesehatan dengan fasilitas kelas tiga dan iuran per bulannya sebesar Rp 25.500 per orang. Siti lega dan meminta BPJS Kesehatan memperbaiki sistem antrean agar bisa lebih cepat.
Sunaryo, warga Kebon Jeruk, yang ditemui di situ juga mengeluhkan sulitnya pendaftaran BPJS Kesehatan via internet. “Tadinya saya daftar online, maksudnya biar enggak usah antre,” kata dia. Hanya saja, prosedur pendaftaran secara online ini ternyata juga ribet, terlebih membuka akses situsnya lambat. Mau tidak mau, akhirnya, Sunaryo mendatangi langsung kantor BPJS Kesehatan untuk mendaftar.
Marius Widjajarta, Ketua Yayasan Pemberdayaan Konsumen Kesehatan Indonesia (YPKKI), mendesak agar pemerintah secepatnya mengevaluasi pelaksanaan BPJS Kesehatan. Maklum, hasil survei 22 provinsi menemukan banyak masalah terkait penyelenggaraan program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) tersebut. “Pelaksanaan BPJS Kesehatan masih amburadul, terutama kualitas pelayanan,” ungkapnya.
Sebab itu, pemerintah harus menyempurnakan sistem BPJS secara menyeluruh agar efektif dan efisien, bukan bersifat tambal sulam.
YPPK menemukan beberapa persoalan krusial terkait implementasi BPJS Kesehatan. Pertama, antrean pendaftaran calon peserta BPJS dan banyak masyarakat yang belum tahu serta sadar untuk mendaftar.
Kedua, di lapangan banyak calo yang memperjualbelikan kartu BPJS Kesehatan untuk golongan penerima bantuan iuran (PBI) alias penduduk miskin. Ketiga, masih banyak warga tidak mampu yang belum terkaver PBI. Keempat, sistem pembayaran dengan mekanisme INA CBGs yang ditetapkan berdasarkan paket tertentu, ternyata harganya terlalu rendah bagi rumahsakit swasta.
Marius menilai, tarif INA CBGs hanya menghitung biaya operasional, dan mengabaikan biaya produksi yang dikeluarkan rumahsakit. Masalahnya, bagi rumahsakit swasta biaya produksi ini sangat besar.
Tak cuma itu, kompensasi bagi tenaga medis dari mulai dokter, perawat, bidan, dan lainnya sangat kecil dan tidak jelas parameternya, sedangkan mereka harus melayani pasien dalam jumlah banyak. “Banyak dokter banyak yang mengeluh soal tarif pelayanan BPJS yang rendah,” jelas Marius.
Bahkan, YPPK juga menemukan praktik peredaran obat palsu dalam jaringan ilegal maupun legal dalam BPJS. Marius menduga hal ini terjadi akibat sistem BPJS yang belum sempurna tapi dipaksakan pelaksanaannya.
Tapi pemerintah tidak tutup mata atas banyaknya persoalan dalam pelaksanaan program JKN. Sebab itu, Kemkes melalui BPJS Kesehatan akan melakukan evaluasi terhadap Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Menteri Kesehatan Nafsiah Mboi mengatakan, ada dua masalah utama yang menjadi perhatian pemerintah dalam evaluasi selama semester I 2014, yakni tingkat kepuasan pasien dan keamanan pasien.
Selain pelaksanaan, pemerintah juga akan mengevaluasi jumlah penerima bantuan iuran (PBI) BPJS Kesehatan. Tahun ini, dana sebesar Rp 19,93 triliun disalurkan untuk JKN. Dana itu dialokasikan untuk membantu iuran kepesertaan sebanyak 86,4 juta masyarakat kurang mampu sebagai penerima bantuan atau PBI.
JKN dalam wujud BPJS Kesehatan memang terbilang baru di Indonesia, dan jelas masih butuh perbaikan di sana-sini agar nilai manfaatnya semakin besar. Ini jadi catatan sekaligus tugas bagi pemerintahan baru nanti, agar lebih serius mencari solusi untuk sederet permasalahan tadi.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News