Reporter: Siti Masitoh | Editor: Herlina Kartika Dewi
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Presiden Prabowo Subianto resmi melantik jajaran anggota kabinet Merah Putih untuk periode 2024 - 2029. Total kabinet ini terdiri dari 48 orang menteri, dan 56 orang wakil menteri, yang akan membantu Prabowo dalam menjalankan pemerintahannya.
Jumlah kabinet ini lebih besar bila dibandingkan era Presiden Jokowi periode 2019-2024 yang dinaungi 34 menteri, dan wakil Menteri sebanyak 17 orang.
Sejalan adanya kabinet jumbo ini, tentunya Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) harus mengeluarkan anggaran lebih besar bila dibandingkan periode sebelumnya.
Baca Juga: Kabinet Gemuk Diklaim Tak Membuat APBN Bengkak
Berdasarkan hasil hitungan Center of Economic and Law Studies (Celios), dengan asumsi perhitungan gaji dan tunjangan menteri Rp 150 juta per bulan, gaji dan tunjangan wakil Menteri Rp 100 juta per bulan, dan anggaran operasional Rp 500 juta per bulan per Menteri atau wakil menteri termasuk perjalanan dinas, staf, dan lainnya.
Dengan proyeksi ini, APBN harus mengeluarkan anggaran sebesar Rp 9 miliar untuk satu orang menteri dalam lima tahun. Nah bila dikalikan dengan 48 menteri, maka total anggarannya sebesar Rp 432 miliar.
Kemudian, APBN harus mengeluarkan anggaran sebesar Rp 6 miliar untuk satu orang wakil menteri dalam lima tahun. Dengan jumlah wakil menteri sebanyak 56 orang maka total anggaran yang harus dikeluarkan sebesar Rp 336 miliar.
Terakhir, dengan estimasi anggaran operasional menteri dan wakil menteri Rp 500 juta per bulan, makan dalam lima tahun pemerintah harus mengeluarkan anggaran Rp 30 miliar dalam lima tahun hanya untuk satu orang menteri atau wakil menteri.
Dengan jumlah Menteri dan wakil Menteri sebanyak 104 orang, maka total anggaran operasional dalam lima tahun adalah sebesar Rp 3,12 triliun.
Lebih lanjut, bila ditotal secara keseluruhan, maka APBN harus mengeluarkan anggaran Rp 3,75 triliun dalam lima tahun untuk memenuhi gaji dan tunjangan serta biaya operasional Menteri dan wakil Menteri. Angka ini belum termasuk beban belanja barang yang timbul akibat pembangunan fasilitas kantor/gedung lembaga baru.
Bila dibandingkan dengan Kabinet Indonesia Maju Era Presiden Jokowi periode 2019-2024 dengan jumlah 34 menteri, dan wakil menteri sebanyak 17 orang dengan asumsi anggaran Rp 1,93 triliun dalam lima tahun. Maka terdapat peningkatan anggaran sebesar Rp 1,82 triliun akibat penambahan jumlah menteri dan wakil Menteri dalam lima tahun ke depan.
Baca Juga: Beban Berat Menggenjot Penerimaan Negara
Sebelumnya, Peneliti Celios Achmad Hanif Imaduddin menyampaikan bahwa kerugian yang dihadapi negara akibat fenomena kenaikan anggaran akibat gemuknya kabinet Prabowo tidak hanya sebatas pada pemborosan fiskal tetapi juga memperlebar angka ketimpangan.
“Meskipun gaji menteri relatif kecil dibandingkan jabatan lain, posisi ini dapat membawa dampak ekonomi yang luas, seperti kenaikan nilai saham perusahaan yang dimiliki oleh menteri yang dapat dilihat sebagai manfaat dari akses kekuasaan,” tutur Hanif dalam keterangan tertulis.
Hanif menilai fenomena ini dapat menciptakan ketimpangan baru di masyarakat karena pejabat-pejabat tersebut mendapatkan keuntungan ganda dari posisi kekuasaannya.
Ia membeberkan, Prabowo sebelumnya berargumen bahwa sebagai negara besar, Indonesia memerlukan banyak menteri untuk mengelola pemerintahan secara efektif. Namun, kata Hanif argumen ini perlu dipertimbangkan dengan melihat komparasi konteks internasional.
Tonton: Pelantikan Kabinet Merah Putih Pemerintahan Prabowo-Gibran
Amerika Serikat misalnya, dengan populasi sekitar 346 juta orang, hanya memiliki 15 eksekutif departemen setingkat kementerian. Bahkan China sebagai negara dengan populasi terbesar di dunia yang mencapai lebih dari 1,4 miliar, hanya memiliki 21 kementerian.
Sementara itu, Indonesia dengan populasi sekitar 275 juta memiliki 48 kementerian, jauh lebih banyak dibandingkan negara-negara tersebut.
“Fakta ini menunjukkan bahwa banyaknya jumlah menteri bukanlah cara untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas pemerintahan. Sebaliknya, justru berpotensi memperbesar birokrasi dan meningkatkan pemborosan anggaran negara,” ungkapnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News