kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.520.000   12.000   0,80%
  • USD/IDR 15.880   50,00   0,31%
  • IDX 7.196   54,65   0,77%
  • KOMPAS100 1.104   9,46   0,86%
  • LQ45 877   10,80   1,25%
  • ISSI 221   0,74   0,34%
  • IDX30 449   6,10   1,38%
  • IDXHIDIV20 540   5,33   1,00%
  • IDX80 127   1,26   1,00%
  • IDXV30 135   0,57   0,43%
  • IDXQ30 149   1,56   1,06%

Potensi Indonesia menuju negara reindustrialisasi masih besar


Senin, 15 April 2019 / 17:32 WIB
Potensi Indonesia menuju negara reindustrialisasi masih besar


Reporter: Grace Olivia | Editor: Noverius Laoli

KONTAN.CO.ID - TANGERANG SELATAN. Pemerintah tengah berupaya mendorong pengembangan industri manufaktur di Indonesia meskipun sempat dikhawatirkan akan terjadi deindustrialisasi. Namun kondisiĀ  Indonesia dinilai tidak separah negara lain yang menuju deindustrialisasi secara alamiah, sebab Indonesia masih memilih peluang untuk mengembangkan sektor manufakturnya.

Apalagi menurut Staf Ahli Menteri Bidang Pembangunan Sektor Unggulan dan Infrastruktur Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Bambang Prijambodo, Indonesia sebenarnya sudah memasuki kategori negara industri sejak 1996, meski masih tahap awal.

Saat itu, industri pengolahan tumbuh dengan rata-rata 10,9% per tahun atau sekitar 1,6 kali dari pertumbuhan ekonomi yang berkisar 6,8% per tahun di periode 1968 - 1997. Namun, industri pengolahan terhantam krisis pada tahun 1998 dan sejak saat itu sulit mencetak kinerja seperti sebelumnya.

Pada era booming harga komoditas yaitu 2004-2012, industri manufaktur tumbuh lebih rendah dari PDB. "Peranan industri manufaktur dalam perekonomian turun dari 29,6% pada 2001, menjadi hanya 19,9% pada 2018 lalu," ujar Bambang dalam acara Indonesia Industrial Summit 2019 di ICE BSD, Senin (15/4).

Kendati begitu, Bambang menjelaskan, proses deindustrialisasi secara umum berlangsung akibat dua faktor, yaitu faktor alamiah dan faktor tertentu. Di Indonesia, faktor yang memicu adalah harga komoditas yang sempat naik tinggi sehingga membuat porsi perdagangan menjadi jauh lebih besar terhadap pertumbuhan ekonomi.

Kabar baiknya, kata Bambang, Indonesia belum mengalami proses deindustrialisasi secara alamiah seperti beberapa negara lainnya. Biasanya, deindustrialisasi alamiah terjadi saat pertumbuhan industri di suatu negara telah mencapai maksimal sehingga mulai menunjukkan perlambatan.

"Karena penurunannya bukan faktor natural, Indonesia masih ada peluang untuk industrialisasi kembali atau reindustrialisasi," ujarnya.

Bambang mengakui tidak mudah bagi Indonesia sebagai negara yang berpenduduk besar untuk mencapai reindustrialisasi. Prosesnya akan memakan waktu lebih lama dibanding negara-negara lain yang lebih kecil ukurannya.

Selain itu, Indonesia juga perlu kembali menjadikan industri non-migas sebagai penggerak utama perekonomian. Serta, mengintegrasikan rantai pasok dari hulu ke hilir. "Struktur industri yang kosong di tengah (hollow middle) perlu ditangani karena sekitar 99% unit usaha merupakan UMKM dan tidak terhubung dengan usaha besar," kata Bambang.

Untuk mengembalikan industri sebagai penggerak pertumbuhan ekonomi, Bappenas mengungkapkan sejumlah strategi. Pertama, membangun industri pengolahan sumber daya alam berbasis kawasan dan sentra industri.

Kedua, mengintegrasikan rantai pasok dari hulu ke hilir, dan terakhir, meningkatkan porsi dalam rantai nilai global (global value chain). Sesuai dengan misi Revolusi Industri 4.0, lima sektor yang akan diprioritaskan untuk strategi-strategi tersebut adalah makanan dan minuman, tekstil dan pakaian jadi, otomotif, elektronik, serta kimia dan farmasi.

"Harapannya, share industri pengolahan terhadap PDB bisa mencapai 26% dan tumbuh rata-rata 6,3% per tahun pada 2045," tandas Bambang.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Working with GenAI : Promising Use Cases HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective

[X]
×