kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.490.000   -5.000   -0,33%
  • USD/IDR 15.565   20,00   0,13%
  • IDX 7.560   39,05   0,52%
  • KOMPAS100 1.173   4,74   0,41%
  • LQ45 938   4,49   0,48%
  • ISSI 228   1,12   0,49%
  • IDX30 481   1,52   0,32%
  • IDXHIDIV20 577   -0,47   -0,08%
  • IDX80 134   0,48   0,36%
  • IDXV30 141   -0,93   -0,66%
  • IDXQ30 160   -0,35   -0,22%

Posisi warga dalam beleid pengadaan tanah lemah


Jumat, 31 Agustus 2012 / 07:34 WIB
Posisi warga dalam beleid pengadaan tanah lemah
ILUSTRASI. ibu kota Vietnam itu telah menutup kegiatan bisnis dan sosial sejak awal Juli, setelah mencatatkan ribuan kasus Covid-19. REUTERS/Stringer


Reporter: Dadan M. Ramdan, Arif Wicaksono | Editor: Dadan M. Ramdan

JAKARTA. Baru seumur jagung, Undang Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum sudah menuai gugatan. Beleid itu dianggap lebih berpihak kepada kepentingan bisnis karena memposisikan masyarakat yang lemah.

Atas dasar itulah, Indonesian Human Rights Committee for Social Justice (IHCS), Serikat Petani Indonesia (SPI), dan Yayasan Bina Desa Sadajiwa (Bina Desa) mengajukkan uji materi UU Nomor 2/2012 ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Mereka menggugat antara lain pasal 9 dan pasal 42 ayat 1 UU Nomor 2/2012 yang mengatur soal ganti rugi dan keseimbangan pengadaan lahan untuk kepentingan pembangunan dan kepentingan umum.

Sidang uji materi beleid pengadaan lahan ini sudah masuk tahap keterangan saksi ahli. Nah, kemarin (30/8), MK menghadirkan Dianto Bachriadi, saksi ahli dari pemohon uji materi.

Dianto bilang, ketentuan dalam pasal tersebut memiliki semangat menggusur. Sebab, meski ada negosiasi dan pemberian ganti rugi, toh akhirnya keputusan pemerintah yang menjadi patokan. "Masyarakat tak bisa melakukan penawaran kembali,” katanya.

Dianto menegaskan, negara wajib menjalankan pembangunan tapi tidak boleh melanggar hak-hak warga. Seharusnya beleid tersebut ada penjelasan tentang pemisahan proyek mana untuk pembangunan kepentingan umum dan proyek yang indentik mencari keuntungan atau bisnis. "Undang-undang ini terindikasi memberikan akses diskriminasi dengan kedok kepentingan umum," jelas peneliti Agraria Resources Center (ARC) tersebut.

Tidak bisa dipaksa
Siti Rakhma Mary Herwati, kuasa hukum pemohon uji materi menambahkan, lemahnya posisi warga dari sisi hukum terlihat dari adanya ancaman bila tidak terjadi kesepakatan ganti rugi tanah akan langsung dibawa ke pengadilan. “Ketika masyarakat tidak setuju sebenarnya ini tidak bisa dipaksa,” tandasnya.

Ia pun menilai, UU nomor 2/2012 lebih mementingkan kepentingan bisnis bukan kepentingan masyarakat secara luas. "Beberapa pasal dalam UU 2/2012 melanggar UUD 1945," ujarnya.

Keterangan tersebut dibantah pemerintah. Kurnia Toha, Kepala Biro Hukum Badan Pertanahan Nasional (BPN) yang mewakili pemerintah bilang, banyak penjelasan gugatan dari pemohon uji materi yang berdasar pada peraturan lama, sebelum UU Nomor 2/2012 disahkan. “Di pasal 10 beleid baru sudah dijelaskan ada 18 poin tentang syarat proyek kepentingan umum,” jelasnya.

Ia juga menyebutkan, dalam proses pengadaan lahan, warga sudah diberitahu sejak awal. Warga pun juga boleh mengajukan keberatan.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
Eksekusi Jaminan Fidusia Pasca Putusan MK Supply Chain Management on Procurement Economies of Scale (SCMPES)

[X]
×