Sumber: Kompas.com | Editor: Dikky Setiawan
JAKARTA. Pengajar Hukum Ekonomi, Universitas Bengkulu, Chandra Irawan menyebutkan, polemik UU Mineral dan Batubara belakangan ini, merupakan bukti dari negara dan pemerintah yang kalah pada kekuatan korporasi.
Hal ini disampaikan Chandra dalam Sekolah Hukum Pendamping Rakyat (SPHR) yang di gelar Yayasan Akar Bengkulu, pada Senin (27/1/2014).
Ia mengatakan, UU tersebut disahkan sejak tahun 2009, dan mulai diberlakukan pada 12 Januari 2014 ini. Dalam UU itu diamanatkan agar pelaku usaha tambang mempunya pengolahan bahan tambang setengah.
"Namun faktanya Januari 2014 mayoritas pelaku usaha tambang tak memiliki smelter, ini bentuk dari ketidakseriusan dan ketegasan pemerintah yang kalah pada dominasi kepentingan perusahaan," jelas dia.
Menurut dia terjadinya kondisi ini akibat dari pemimpin di Indonesia tidak memiliki karakter yang kuat untuk berlaku tegas pada korporasi, sehingga meski jatuh tempo UU tiba masih saja pelaku perusahaan tambang mangkir.
Dalam acara tersebut ia juga menyinggung banyaknya UU bidang ekonomi di Indonesia merupakan produk pesanan dari asing untuk melakukan intervensi kebijakan.
"Data Badan Intelijen Negara (BIN) terdapat 72 UU merupakan kepentingan asing yang dibuat juga oleh asing lalu disahkan oleh DPR," pungkas Chandra.
Sebagaimana diberitakan, Pemerintah mulai memberlakukan UU No.4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara pada 12 Januari 2014 lalu. Namun demikian, pemerintah kembali membuat aturan turunan bagi para pengusaha tambang yang sudah berkomitmen membangun pabrik pemurnian bijih mineral (smelter).
Aturan turunan tersebut diantaranya adalah Peraturan Pemerintah No.1 tahun 2014, serta Permen ESDM No.1 tahun 2014, tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara.
Dalam beleid tersebut, enam mineral logam (tidak termasuk batubara) masih bisa diekspor sesuai ketentuan kadar pengolahannya, dan tidak harus dimurnikan. Mineral ogam tersebut yakni tembaga, pasir besi, bijih besi, seng, timbal, serta mangaan.
Melengkapi Permen ESDM tersebut, pemerintah mengeluarkan PMK No.6/PMK.011/2014 tentang Penetapan Barang Ekspor yang Dikenakan Bea Keluar dan Tarif Bea Keluar. Dari keterangan resmi Sekjen Biro Komunikasi dan Layanan Informasi, Kementerian Keuangan, bea keluar enam logam di atas ditetapkan secara bertahap tiap semester, mulai dari 20 persen atau 25 persen sampai 60 persen.
Kebijakan tarif progresif tersebut akan berakhir hingga 31 Desember 2016, dan diharapkan menjadi instrumen untuk memantau perkembangan pembangunan smelter. (Firmansyah)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News