Reporter: Yudho Winarto | Editor: Tri Adi
JAKARTA. Dua perusahaan farmasi PT Pfizer Indonesia dan Dexafarma dituding telah melakukan pelanggaran UU Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Prektek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, yaitu praktek kartel. "Dua perusahaan farmasi tersebut melakukan kesepakatan dalam penetapan harga obat," kata Ahmad Ramadhan Siregar, Komisioner Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) saat dihubungi melalui telepon , Kamis (4/3).
Menurut Ahmad, selain melakukan penetapan harga sebagaiman yang tercantum dalam Pasal 5 dan perilaku kartel pada Pasal 11, dua perusahaan tersebut juga terkena pasal 25, yaitu penyalahgunaan posisi dominan untuk pasar kelas terapi Amplodipine. "Pfizer dan Dexafarma menguasi pangsa pasar untuk kelas obat terapi," katanya.
Produk Amlodipine merupakan obat-obatan yang mengandung dihydropyridine derivative calcium-channel blockers yang digunakan secara spesifik untuk jenis penyakit yang terkait dengan kardiovascular dan habis masa patennya pada 2007.
Obat kelas Amplodipine yang terdiri dari merek obat NV, TS, AM, dan D dengan konsentrasi pasar Pfizer 55,8% dan Dexafarma 30% dengan rasio konsentrasi (CR4) sebesar 93% dan Hirschman-Herfindahl Index (HHI) sebesar 4.050 yang melebihi standar batas konsentrasi pasar kompetitif. Sebagai perbandingan, dalam aturan merger, jika ada merger yang mengakibatkan konsentrasi pasar di atas 1.800 HHI berpotensi besar untuk ditolak/dibatalkan.
Untuk kelas Amlodipine dengan dua merek utama, NV dan TS, harganya jauh melebihi harga obat generik nya. Merek NV dijual dengan harga 2.39 kali lipat dari harga obat generiknya (atau 239% di atas harga obat generik yang merupakan substitusinya). Merk TS dijual dengan harga 2.13 x dari harga generik atau 213%. Dengan demikian, ada dua indikasi yaitu pangsa pasar yang sangat tinggi berikut excess harga dibanding harga generik yang begitu besar.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News