Reporter: Andi M Arief | Editor: Khomarul Hidayat
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Petambak Udang Dipasena Citra Darmaja (DCD) dihadirkan dalam persidangan kasus korupsi Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) Bank Dagang Negara Indonesia (BDNI) untuk tersangka Sjafrudin Arsyad Temanggung (SAT), Kamis (26/7).
Petambak merasa tidak memiliki utang melainkan piutang ke DCD. Pasalnya, selama empat tahun mengelola tambak, para petambak telah menghasilkan nilai penjualan melebihi nilai utang yang ditetapkan ke mereka.
"Hitungannya saya terendah lah. (Jika diakumulasikan, saya (dapat) Rp 181 juta. Ini, Yusuf (petambak lainnya), dari (tahun) 1995-1099 itu Rp 373 juta penjualannya. Masih dibilang punya hutang. Kan nggak layak ya," kata Towilun, petambak udang Dipasena di depan Pengadilan Negeri Tindak Pidana Korupsi Jakarta Pusat, Kamis (26/7).
Towilun melanjutkan, saat penandatanganan perjanjian kredit antara petambak dan PT DCD, para petambak udang dilarang untuk membaca isi perjanjian tersebut. Namun, Towilun sadar ia menandatangani perjanjian utang sebesar Rp 135 juta.
"Kami tanda tangan, tapi kami tidak tahu persis, karena kami tidak boleh baca. Yang melarang perusahaan," aku Towilun saat dimintai keterangan oleh Jaksa Penuntut Umum Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Ketika penandatanganan perjanjian, imbuh Towilun, para petambak dikumpulkan di satu ruangan. Para petambak hanya dijelaskan sebagian dari isi perjanjian itu pada pelatihan yang dilakukan DCD kepada para petambak sebelum bekerja sebagai petambak DCD.
"Waktu itu kami sekitar 80-an orang dalam satu ruangan. Dijelaskan bahwa kalau petambak kerja serius 6 tahun-8 tahun, petambak akan lunas utangnya. Serta tambak itu akan jadi hak miliknya," imbuh Towilun.
Dari perjanjian kredit tersebut, para petambak diberikan aset non-tunai, yaitu rumah berukuran 5x7 meter dan tambak berukuran 40 meterx50 meter senilai Rp 90 juta, plus modal budidaya berupa bibit udang, obat-obatan, dan pakan senilai Rp 45 juta. Hasil panen para petambak lalu dijual ke DCD setipa kali panen. Namun, "harga udang kami dibeli jauh leih rendah. Bahkan tidak ada harga 50%-nya dari harga nasional," imbuh Towilun.
Kasus yang disidangkan ini diawali dari adanya misrepresentation nilai aset Syamsul Nur Salim (SNS) setelah dilakukan Financial Due Dilligence dan Legal Due Diligence oleh firma independen yang ditunjuk Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) pada 1999. Walau mengetahui hal tersebut, Syafrudin sebagai Kepala BPPN saat itu tetap menerbitkan Surat Keterangan Lunas (SKL) yang mengakibatkan negara dirugikan Rp 4,8 miliar.
"Kami menduga semakin kuat bukti-bukti yang menjelaskan bahwa ada persolan serius dibalik penerbitan SKL Syamsul Nur Salim pada saat itu," kata Febri Diansyah, Jurubicara KPK, Rabu malam (25/7).
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News