kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45893,43   -4,59   -0.51%
  • EMAS1.333.000 0,53%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Pertumbuhan ekonomi tidak didukung sektor riil


Kamis, 18 Juli 2013 / 16:03 WIB
Pertumbuhan ekonomi tidak didukung sektor riil
ILUSTRASI. Setiap shio memiliki preferensi atau selera dekorasi rumah yang berbeda-beda.


Reporter: Lamgiat Siringoringo, Anastasia Lilin Y, Herry Prasetyo | Editor: Imanuel Alexander

JAKARTA. Langkah Bank Indonesia (BI) menaikkan suku bunga acuan atawa BI rate pada Kamis (11/7) lalu menyeret revisi indikator ekonomi lain. Tak terkecuali pertumbuhan ekonomi. Rapat Dewan Gubernur BI merevisi target pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun ini, dari semula 6,2%-6,6% menjadi hanya 5,8%-6,2%.

Rilis resmi BI menyebutkan, revisi dilakukan karena ada perlambatan pertumbuhan pada triwulan II dan triwulan III 2013 masing-masing menjadi 5,9%. Penyebabnya, ekspor yang lemah sejalan dengan ekonomi global dan harga komoditas yang masih lemah.

Di samping itu, konsumsi rumahtangga dan investasi diperkirakan juga sedikit tertahan sebagai dampak daya beli yang menurun akibat belum kuatnya permintaan ekspor dan kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM). Pertumbuhan ekonomi diproyeksikan baru kembali meningkat pada triwulan IV dan berlanjut tahun 2014 nanti yang diramalkan 6,4%-6,8%.

Jika BI melakukan revisi, tidak demikian dengan pemerintah. Sebab, baru Juni kemarin pemerintah merevisi pertumbuhan ekonomi 2013 yang ditetapkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara perubahan (APBN-P). Kalau sebelumnya di APBN 2013 pemerintah mematok target pertumbuhan 6,8%, dalam APBN-P turun menjadi 6,3%.

Menteri Keuangan Chatib Basri bilang, pemerintah masih setia pada target pertumbuhan 6,3% tersebut, meski banyak lembaga menurunkan proyeksi pertumbuhan ekonomi. Misalnya, Bank Dunia yang memangkas target pertumbuhan ekonomi kita dari yang sebelumnya 6,2% jadi 5,9% tahun ini.

Bank Pembangunan Asia (ADB) juga melakukan hal sama. Lembaga keuangan yang berbasis di Manila ini awalnya optimistis Indonesia bisa mencetak pertumbuhan ekonomi 6,4%. Namun belakangan ADB mengubah proyeksi pertumbuhan menjadi 6,1%–6,2%.

Sebelum dua lembaga tersebut, Morgan Stanley sudah lebih dulu melakukan revisi. Hanya saja, bukan dalam hal pertumbuhan ekonomi tapi peringkat saham. Jika sebelumnya lembaga ini mengganjar Indonesia dengan rating equalweight (sama bobot), pasca revisi menjadi underweight (kurang berbobot dari saham lain).

Tapi, optimistisme pemerintah sepertinya agak goyah. Chatib mengaku tidak gampang mencapai target pertumbuhan ekonomi dalam situasi seperti sekarang. “Jangan direvisi, biarkan kami bekerja keras lebih dulu,” tegasnya.

Menurut Ekonom Bank Central Asia (BCA) David Sumual, kondisi ekonomi Indonesia sudah masuk area kuning. Namun, belum masuk ke dalam tahap yang membahayakan.

Toh, jika dibandingkan dengan kondisi ekonomi negaranegara lain, kondisi pertumbuhan ekonomi Indonesia masih masuk kategori tertinggi di Asia. Pertumbuhan ekonomi Indonesia hanya berada di bawah China dan Filipina. “Dibandingkan dengan India juga masih lebih baik,” ujar David. Karena itu, hingga akhir tahun ini, dia memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia akan berada di kisaran 6%.

Revisi masih wajar

Lain halnya dengan pandangan ekonom dari Samuel Sekuritas Lana Soelistyaningsih. Analisis Lana, revisi pertumbuhan ekonomi yang dilakukan berbagai pihak masih dalam rentang wajar. Secara historikal, pertumbuhan ekonomi Indonesia dalam tujuh tahun terakhir adalah 5,8%–5,9% per tahun.

Pertumbuhan ekonomi Indonesia sempat sangat mengejutkan pada tahun 2010. Kala itu, pertumbuhan ekonomi melonjak menjadi 6,2% padahal tahun 2009 hanya 4,6% saja.

Lonjakan pertumbuhan ekonomi tersebut terjadi lantaran berbagai iklim yang kondusif. Contohnya, harga komoditas yang tinggi sehingga ekspor sangat positif dan rupiah juga menguat. Dampak dari kondisi tersebut adalah masuknya dana asing ke dalam negeri. Dus, kondisi ekonomi global lantas goyah sehingga pelaku pasar mengalihkan dana ke emerging market seperti Indonesia. Ditambah lagi, daya beli masyarakat juga tambah besar.

Sayang, manis iklim tersebut tak didukung kesiapan sektor riil. Ketika daya beli meningkat dan otomatis mengerek produsi, para produsen di dalam negeri tak memiliki kecukupan bahan baku. “Untuk mempertahankan produksi, kita mengimpor bahan baku dari luar. Inilah yang menyebabkan impor lambat laun membesar dan membuat neraca perdagangan defisit,” beber Lana.

Jadi, menurut Lana, jika ingin kembali menggenjot pertumbuhan ekonomi, hal yang harus dilakukan pemerintah adalah membenahi ketersediaan bahan baku. Dengan begitu, ketergantungan impor bahan baku negara kita bisa disingsetkan.

Agar tidak seperti tiba-tiba kehabisan bensin saat kencang menginjak pedal gas, ya?

***Sumber : KONTAN MINGGUAN 42 - XVII, 2013 Laporan Utama

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×