Reporter: Asep Munazat Zatnika | Editor: Adi Wikanto
Jakarta. Perjanjian pertukaran informasi pajak antara Indonesia dengan Amerika Serikat (AS), atau Foreign Account Tax Compliance Act (FATCA) akan dilakukan mulai tahun 2016. Kedua negara sepertinya mempercepat pelaksanaan perjanjian itu.
Sebab tadinya, pertukaran informasi pajak kedua negara baru akan dilakukan tahun 2017. Perjanjian ini merupakan langkah awal sebelum sistem keterbukaan informasi secara global pada tahun 2018.
Namun, FATCA ternyata akan lebih menguntungkan pihak AS. Sebab, menurut Kepala Badan Kebijakan Fiskal Suahasil Nazara, perjanjian FATCA memang usulan dari pemerintah AS.
Pemerintah AS ingin mendapatkan data yang lengkap mengenai aktifitas pebisnisnya di seluruh negara, termasuk Indonesia. "Mereka perlu data itu untuk keperluan pajaknya," kata Suahasil, Selasa (3/5) kepada KONTAN.
Nah, dalam konteks ini pemerintah memang tidak memiliki banyak pilihan selain menerima ajakan tersebut. Selain karena untuk menjaga hubungan baik, pemerintah memang akan berada dalam posisi yang tidak diuntungkan jika menolak.
Sebab, jika tidak setuju maka AS bisa saja mempersulit transaksi keuangan pengusaha Indonesia di AS. Misalnya dengan mengenakan tarif-tarif pungutan yang lebih tinggi, atau menambah prosedur-prosedur tertentu.
Sementara banyak negara yang setuju dengan proposal yang diajukan pemerintah AS untuk memberlakukan FATCA. Perjanjian FATCA memang tidak secara khusus hanya dilakukan oleh pemerintah AS dengan Indonesia, tetapi dengan banyak negara lainnya. Sehingga jika menolak, maka daya saing ekonomi Indonesia akan kalah dibandingkan negara lain yang terikat perjanjian.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
