Sumber: KONTAN |
JAKARTA. Perkara gugatan PT Permata Hijau Sawit terhadap Citibank N.A. soal transaksi derivatif di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan mendekati tahap akhir. Dalam kesimpulannya, kedua pihak yang bersengketa itu saling mengklaim telah melakukan hal yang sesuai perjanjian.
Permata Hijau menilai, Citibank telah mengonversi secara sepihak tagihan derivatif sebesar US$ 23 juta atau sekitar Rp 243 miliar menjadi tagihan kredit dan melaporkan ke Bank Indonesia (BI). "Tidak mungkin tagihan derivatif disamakan dengan tagihan kredit," kata David Tobing, pengacara Permata Hijau, akhir pekan lalu.
David juga menilai, sejak awal, risiko bagi Citibank sejatinya memang hampir tidak ada. Sebab, sesuai surat 2 Juni 2008, sebelum meneken fasilitas transaksi valuta asing senilai US$ 5 juta, Citibank meminta jaminan pribadi dari Robert (Direktur Permata Hijau) dan Maria Wijaya (komisaris) senilai US$ 20 juta. Ada pula jaminan perusahaan US$ 20 juta, dan standby letter of credit (SBLC) senilai US$ 500.000.
David menambahkan, Permata Hijau akhirnya menghentikan transaksi derivatif itu lantaran nilai tukar rupiah terhadap dolar AS sudah di atas Rp 10.000 sejak 3 November 2008. Ini meleset dari skenario yang diajukan Citibank bahwa nilai rupiah tak akan melebihi Rp 10.000 per US$. "Tidak ada penjelasan dan laporan saat posisi nasabah berbahaya," ungkap David.
Sebaliknya, Citibank menilai, Permata Hijau menggugat hanya karena ingin menghindari kewajiban untuk menyerahkan dolar ke Citibank di harga yang telah disepakati, yakni Rp 9.600 per US$, supaya bisa menjual ke pasar dengan harga yang lebih tinggi. "Permata Hijau telah menodai kesakralan kontrak dan menimbulkan ketidakpastian hukum," tandas Erwandi Hendarta, pengacara Citibank.
Citibank juga menegaskan, transaksi callable forward itu merupakan perjanjian yang telah ditandatangani dan dibuat secara sah oleh Permata Hijau dan Citibank. Faktanya, transaksi sudah berjalan selama delapan minggu dari rencana 52 minggu. Artinya, tidak ada unsur keterpaksaan. "Permata Hijau adalah eksportir besar sejak 1984. Perusahaan seperti ini pasti mempunyai posisi tawar (bargaining power) cukup kuat," kata Erwandi.
Dalam dua minggu ke depan, majelis hakim bakal memutuskan dalil pihak mana yang bisa mereka terima.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News