kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45923,49   -7,86   -0.84%
  • EMAS1.319.000 -0,08%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Pengelolaan Insentif dan Fasilitas Pajak Rp 15,31 Triliun Bermasalah, Ini Penyebabnya


Rabu, 05 Oktober 2022 / 22:03 WIB
Pengelolaan Insentif dan Fasilitas Pajak Rp 15,31 Triliun Bermasalah, Ini Penyebabnya
ILUSTRASI. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mengungkapkan terdapat pengelolaan insentif dan fasilitas perpajakan dalam Program Pandemi Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi (PC PEN) tahun 2021 sebesar Rp 15,31 triliun belum sepenuhnya memadai.


Reporter: Siti Masitoh | Editor: Khomarul Hidayat

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mengungkapkan terdapat pengelolaan insentif dan fasilitas perpajakan dalam Program Pandemi Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi (PC PEN) tahun 2021 sebesar Rp 15,31 triliun belum sepenuhnya memadai. Hal tersebut tertuang di dalam Ikhtisar Hasil Pemeriksaan (IHPS) Semester I Tahun 2022.

Sebelumnya, Staf Ahli Menteri Keuangan Bidang Kepatuhan Pajak Yon Asral mengatakan, dari Rp 15,31 triliun, sebanyak Rp 6,74 triliun diantaranya merupakan realisasi insentif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) DTP dari Program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) periode 2020-2021 yang belum dicairkan di periode tersebut, sehingga menjadi tunggakan.

Dalam temuan tersebut juga terdapat sebesar Rp 3,7 triliun yang berkaitan dengan persoalan dalam membaca faktur. Yon mengaku, sebetulnya Ditjen Pajak telah menjelaskan kepada BPK soal temuan tersebut. Akan tetapi, belum tertampung dalam Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP).

“Jadi pada prinsipnya sudah bisa kami jelaskan (ke BPK). Adapun sisanya, merupakan temuan yang sifatnya kecil-kecil. Jadi temuan tadi kita akan pilah dan akan ditindak lanjuti. Mudah-mudahan rekomendasi bisa ditindak lanjuti hari ini,” kata Yon, Rabu (4/10).

Baca Juga: BPK Temukan Insentif PC-PEN 2021 Sebanyak Rp 15,31 Triliun Bermasalah

Dihubungi secara terpisah, Direktur Eksekutif Pratama-Kreston Tax Research Institute (TRI) Prianto Budi Saptono mengatakan, pemberian insentif dan fasilitas perpajakan merupakan bagian dari kebijakan belanja pemerintah tidak langsung atau kebijakan belanja pajak.

Prianto bilang, salah satu kelemahan dari kebijakan tersebut adalah otoritas pajak masih harus mengandalkan laporan realisasi yang disampaikan oleh Wajib Pajak (WP) penerima fasilitas/insentif perpajakan.

“Selain itu, salah satu bentuk fasilitas tersebut yang berupa PPN DTP, artinya pemerintah tetap mencatat penerimaan PPN dari pembayar PPN. Akan tetapi, sumber dananya bukan dari pembayar PPN itu sendiri, melainkan dari alokasi anggaran yang masuk ke dalam pos pengeluaran pajak (pengeluaran pajak) di APBN,” tutur Prianto kepada Kontan.co.id, Rabu (5/10).

Dia menjelaskan, ketika ada laporan realisasi, pemerintah akan segera mencairkan anggaran di pos pengeluarn pajak untuk dimasukkan ke dalam pos penerimaan PPN di APBN. Tanpa ada laporan realisasi, pos anggaran pengeluaran APBN berupa pengeluaran pajak tidak berkurang. Kondisi tersebut, menurut Prianto yang menyebabkan fasilitas PPN DTP tidak terserap.

Lebih lanjut, untuk memastikan kondisi apakah Pengusaha Kena Pajak (PKP) berhak atas fasilitas PPN DTP tersebut, Ditjen Pajak harus melakukan audit untuk menguji kepatuhan.

“Dengan demikian, jika ada PKP yang ternyata tidak berhak, PKP tersebut dapat diwajibkan membayar PPN yg seharusnya terutang plus sanksi administrasi,” imbuh Prianto.

Baca Juga: BPK Temukan Insentif Pajak yang Bermasalah Rp 15,31 Triliun, Ini Kata Ditjen Pajak

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
EVolution Seminar Supply Chain Management on Sales and Operations Planning (S&OP)

[X]
×