Reporter: Ghina Ghaliya Quddus | Editor: Dupla Kartini
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pemerintah tidak terlalu cemas dengan adanya potensi perang dagang antara Amerika Serikat dan China. Menurut Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution, meski ada, dampak yang dirasakan Indonesia tidak secara langsung dan tidak selalu negatif.
Senada, Kepala Riset Mirae Asset Sekuritas Taye Shim mengatakan bahwa ketegangan dagang antara AS dan China bisa jadi tidak terlalu buruk bagi Indonesia. Meski memang, setiap bangsa yang memiliki hubungan perdagangan dengan AS dan China akan terdampak.
Bagi Indonesia, China adalah tujuan perdagangan (ekspor + impor) terbesar, sementara AS adalah tujuan ekspor neto (ekspor - impor) terbesar. Namun, dampaknya ke Indonesia akan kecil.
Sebab, ekspor menyumbang 19,1% dari PDB Indonesia di 2016. Nilai ini, menurut Taye, relatif kecil.
“Ini sangat kontras dari negara-negara Asia lainnya, seperti Vietnam yang 94%, Thailand yang 69%, Korea 42%, dan Filipina 28% dari PDB nasional masing-masing,” kata Taye dalam riset yang diterima KONTAN, Minggu (25/3).
Selanjutnya, dari perspektif net ekspor, Indonesia menunjukkan tren stabil di mana net ekspor dari PDB 1,9% pada tahun 2010 dan pada 2017 masih sebesar 1,9%.
“Hal ini kami anggap perdagangan Indonesia cenderung tidak akan ada ayunan besar yang didorong oleh faktor eksternal,” ucapnya.
Taye melihat, justru Indonesia mungkin mendapat keuntungan dari ketegangan perdagangan AS-Cina di mana AS adalah tujuan ekspor neto terbesar Indonesia. Barang ekspor teratas Indonesia ke AS pada tahun 2016 di antaranya pakaian rajut, pakaian tenunan,
dan alas kaki yang sebesar 32% dari total ekspor ke AS.
“Menurut pengecekan kami dengan industri pakaian dan alas kaki spesialis, kami menemukan bahwa mereka tidak terlalu pesimistis tentang AS-China,” ujarnya.
Sebab, pertama, industri tekstil dan alas kaki sangat padat karya. Itulah alasan utama mengapa sangat tidak mungkin AS akan membawa kembali jalur produksi ke negara asal mereka.
Kedua, industri tekstil dan alas kaki memproduksi produk original equipment manufacturer (OEM), yang berarti pabrikan Indonesia menghasilkan produk akhir untuk Nike, GAP dan merek global lainnya.
Menyitir laporan lembaga riset, Market Realist, Taye menyatakan, Nike tidak memiliki pabrik untuk memproduksi alas kaki dan pakaian jadi mereka, yang membentuk 88% dari pendapatan mereka. Adapun, Nike selama ini dipasok oleh 150 pabrik alas kaki di 14 negara. Pabrik kontrak di Vietnam, China, dan Indonesia menghasilkan 43%, 28%, dan 25% dari total alas kaki.
“Mengingat hubungan AS-China memburuk, aliran produksi dari Vietnam dan Indonesia mungkin bisa mendapatkan keuntungan dari meningkatnya ketegangan itu,” kata Taye.
Namun, mengingat ekonomi Indonesia digerakkan oleh komoditas, nilai ekspor yang lebih tinggi bisa menetes ke bawah, yakni ke tingkat konsumen sebagai multiplier effect. “Kami percaya ekonomi Indonesia kemungkinan akan merasakan sedikit dampak, tetapi bukan pukulan yang besar dari ketegangan perdagangan antara AS dan China,” ujarnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News