Reporter: Abdul Basith | Editor: Sofyan Hidayat
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Dorongan pengesahan revisi Undang Undang Terorisme (UU Terorisme) perlu memperhatikan kondisi masyarakat. Terdapat berbagai polemik sehingga terdapat tarik ulur dalam revisi UU Terorisme. Meski begitu, poin-poin yang terdapat dalam revisi UU Terorisme perlu diperhatikan agar tidak mengancam suatu kelompok masyarakat tertentu.
"Jangan sampai UU Terorisme nanti lebih menakutkan dari terorisme itu sendiri," ujar Pengamat Terorisme Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Khairul Fahmi.
Poin dalam UU Terorisme dapat disalahgunakan bila terdapat ketidakjelasan. Khairul mencontohkan soal penyadapan yang memerlukan kejelasan kapan tindakan penyadapan dapat dilakukan.
Selain poin yang jelas, Khairul bilang pada revisi UU Terorisme belum terdapat norma terhadap hal utama yang dibahas. Hal itu akan membuat pengertian terorisme menjadi tidak jelas.
"RUU Tindak Pidana Terorisme ini belum punya rumusan normatif yang jelas tentang terorisme, radikalisme dan deradikalisasi itu sendiri," terang Khairul.
Meski begitu, Khairul sepakat penting adanya UU Terorisme. Revisi UU Terorisme dapat memperbaiki sisi lemah payung hukum pemberantasan terorisme.
Khairul menjelaskan selama ini belum ada klausul yang membahas mengenai pencegahan. Selain itu juga revisi UU Terorisme mencantumkan pengaturan untuk digunakannya pendekatan kesejahteraan sosial sebagai upaya rehabilitasi dan deradikalisasi.
Hal yang juga penting dibahas dalam revisi UU Terorisme adalah peran Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT). "Sampai hari ini posisi BNPT paling lemah karena sebelumnya tak memiliki payung hukum setingkat UU," jelas Khairul.
Posisi BNPT dinilai perlu dipertegas termasuk mengenai distribusi peran dan kewenangan. Sejauh mana masing-masing unsur seperti Polri, BIN, TNI. Misal, di level dan area mana saja TNI bisa, boleh dan harus dilibatkan.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News