Reporter: Abdul Basith Bardan | Editor: Herlina Kartika Dewi
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Direktur Pusat Studi dan Kajian Konstitusi (Pusako) Fakultas Hukum Universitas Andalas Feri Amsari menyebut ada dua poin utama dalam menggugat Undang Undang nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
UU yang disebut dengan omnibus law tersebut dinilai cacat dalam prosedur pembentukannya. Pembentukan UU itu tertutup dan cenderung terburu-buru.
"Selain tertutup, pasal-pasal salah tulis, dan banyak versi draft UU, pembentukan dilakukan sangat tertutup dan terburu-buru," ujar Feri saat dihubungi Kontan.co.id, Selasa (3/11).
Poin gugatan kedua adalah bertentangannya UU Cipta Kerja dengan UUD 1945. Berdasarkan aturan dalam UU sapu jagat tersebut menampakkan kekuasaan menjadi sentralistik.
Baca Juga: UU Cipta Kerja permudah pengadaan lahan, lalu bagaimana soal kelestarian lingkungan?
Aturan teknis dalam UU tersebut diserahkan seluruhnya kepada pemerintah. Hal itu membuat kekuasaan tidak dilakukan secara otonomi.
"Nanti pemerintah sesuka hati akan mengatur hal-hal yang semestinya menjadi materi UU," terang Feri.
Selain itu UU juga tidak mengatur mengenai Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK). Omnibus law hanya mewajibkan penentuan Upah Minimum Provinsi (UMP) dimana akan kembuat upah menjadi rendah.
Hal itu sesuai dengan gugatan serikat buruh yang telah diajukan ke Mahkamah Konstitusi. Dimana Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) mencontohkan UMP Jawa Barat sebesar Rp 1,8 juta sementara UMK Bekasi jauh lebih tiggi sebesar Rp 4,2 juta.
Feri juga menegaskan masalah lingkungan yang diabaikan dalam UU yang ditujukan menggaet investasi tersebut. Masalah gratifikasi juga menjadi sorotan Feri.
Sebagai informasi, Presiden Joko Widodo telah menandatangani UU Cipta Kerja, Senin (2/11) kemarin. Naskah UU tersebut mengalami sejumlah perubahan setelah disahkan dalam Sidang Paripurna DPR awal Oktober lalu.
Selanjutnya: UMP dan Gaji PNS tak naik tahun depan, ekonom: Konsumsi bisa melambat
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News