Reporter: Asep Munazat Zatnika | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie
JAKARTA. Kejaksaan agung hingga saat ini masih kesulitan untuk menuntaskan kasus korupsi yang terjadi di Bank Bukopin. Menurut Jaksa Agung, Basrief Arief, hingga saat ini pihaknya belum memperoleh hasil audit dari Badan Pengawasan Keuangan Dan Pembangunan (BPKP) terkait kerugian negara yang kemungkinan timbul.
"Hingga saat ini masih kami tangani. Tapi belum tuntas karena belum dilakukan audit," kata Basrief. Basrief juga menyangkal telah menelantarkan kasus yang terjadi pada tahun 2004 ini.
Basrief berjanji, kasus ini akan segera menemukan kejelasannya setelah dilakukan gelar perkara. Hanya saja, Basrief tidak menjelaskan lebih detil, kapan gelar perkara akan dilakukan.
Kasus itu bermula pada 2004 ketika Direksi PT Bank Bukopin memberikan fasilitas kredit kepada PT APL sebesar Rp 62,8 miliar. Kredit itu ditujukan untuk membiayai pembangunan alat pengering gabah pada Divre Bulog Jawa Timur, Jawa Tengah, Bali, NTB, dan Sulawesi Selatan (Sulsel) sebanyak 45 unit.
Namun, fasilitas yang diterima tersangka GN (PT APL) ternyata dipergunakan tidak sesuai peruntukannya. Seharusnya yang dibeli merk Global Gea (buatan Taiwan) namun dalam kenyataannya mesin yang dibeli merk Sincui, yang ditempeli merk Global Gea.
Beberapa hari sebelumnya, karyawan Bank Bukopin yang tergabung dalam Serikat Karyawan Bukopin, mendatangi Kejaksaan. Mereka menuntut agar Kejaksaan segera menuntaskan kasus tersebut.
Mereka menilai korupsi di Bukopin telah menyebabkan kerugian negara hingga Rp 76,24 miliar. Asal tahu saja, dalam kasus tersebut kejaksaan sebenarnya sudah menetapkan 11 tersangka. Sekitar sepuluh tersangka berasal dari Bank Bukopin. Sedangkan seorang lainnya berasal dari luar lembaga itu.
Sementara itu, hingga saat ini, pihak BPKP mengaku tidak bisa melakukan audit terhadap kasus ini. Menurut ketua BPKP, Mardiasmo, Bukopin bukan salah satu perusahaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
Pasalnya, saham Bank Bukopin yang dimiliki pemerintah hanya sebesar 14%. "Kalau bukan BUMN, kita tidak bisa menghitung kerugian keuangan negara," kata Mardiasmo.
Mardiasmo beralasan, hal tersebut sudah diatur di dalam UU No 19 Th 2003. Di dalam aturan itu disebutkan, kalau perusahaan yang hanya dimiliki pemerintah di bawah 51% bukanlah BUMN.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News