kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45919,51   10,20   1.12%
  • EMAS1.350.000 0,00%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Pemilih perempuan perlu edukasi politik


Minggu, 22 Desember 2013 / 13:31 WIB
Pemilih perempuan perlu edukasi politik
ILUSTRASI. Pertandingan yang digelar sebagai persiapan jelang Liga 1 2022-2023 sekaligus peluncuran skuad Persija itu berakhir dengan skor 4-2 untuk kemenangan Persija. ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra/wsj.


Reporter: Uji Agung Santosa | Editor: Uji Agung Santosa

JAKARTA. Peran politik perempuan dinilai belum sepadan dengan potensi yang dimilikinya. Perempuan menjadi peserta pemilu yang sangat rentan untuk dimanipulasi sehingga diperlukan edukasi yang lebih baik sehingga peran mereka dalam menentukan arah politik Indonesia ke depan lebih besar.

Kesimpulan itu mencuat dalam seminar berjudul Presiden Pilihan Perempuan yang diselenggaran Alumni Fakultas Ilmu Sosial (FIS) Universitas Indonesia (UI) angkatan 1978 di Jakarta, akhir pekan lalu. Seminar yang diselenggarakan untuk memperingati hari ibu itu menghadirkan pembicara Pengamat Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Ikrar Nusa Bhakti, Dosen Politik UI Chusnul Mar'iyah, dan Pengamat Budaya Nina Akbar Tandjung.

Ikrar mengatakan, potensi politik pemilih perempuan sangat besar mencapai 49% total warga negara yang berhak menggunakan hak suaranya pada tahun depan. "Potensi yang besar itu rawan di mobilisasi jika tidak ada edukasi yang baik," katanya. Edukasi diharapkan akan membuat pemilih perempuan benar-benar bisa menggunakan hak politiknya pada Pemilu 2014 dengan memilih pemimpin yang tepat.

Apalagi jika melihat Pemilu sebelumnya, kaum perempuan masih menggunakan perasaan dibanding logika. "Mereka mudah dipengaruhi oleh pencitraan yang baik dari kandidat Pemilu," kata Ikrar.

Hal yang sama dikatakan oleh Chusnul Mar'iyah. Menurutnya akibat peran perempuan yang minim dalam politik, maka banyak sekali aturan-aturan diskriminasi yang dikeluarkan pemerintah daerah (pemda). Dia menghitung, setidaknya ada 283 peraturan daerah (Perda) yang mendiskriminasi kaum perempuan. Jumlah itu bertambah kurang lebih sebanyak 60 Perda pada tahun ini. Menurut Chusnul, dari total perda yang dianggap diskriminasi terhadap perempuan, paling banyak dikeluarkan oleh Provinsi Jawa Barat dan Sumatera Barat.

Dengan kondisi itu, maka sudah sepantasnyalah perempuan lebih diperhatikan dalam edukasi politiknya. Sebab, setiap pilihan politik yang diambil perempuan akan sangat mempengaruhi masa depan Indonesia. Setiap kebijakan yang diambil dari kepemimpinan yang diperoleh juga akan selalu bersinggungan dengan perempuan, seperti akses terhadap kesehatan, reproduksi, dan pendidikan. "Perempuan harus memilih kandidat yang benar-benar dikenal," katanya.

Sementara itu Nina Akbar Tandjung lebih menyoroti tentang perlunya kandidat yang memiliki wawasan nation building yang kuat. Dalam seminar yang diikuti oleh sekitar seratusan perempuan itu juga dilakukan polling spontan tentang pilihan presiden tahun depan. Hasilnya sebanyak 61% memilih Joko Widodo, 12% memilih Prabowo Subianto, 10% memilih Sri Mulyani, dan 8% memilih Jusuf Kalla. Sedangkan sisanya terbagi antara Megawati dan Aburizal Bakrie.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×