kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45926,73   11,38   1.24%
  • EMAS1.310.000 -1,13%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Pemerintah Tunda Kebijakan Non Populis Jelang Pemilu, Ekonom: Hambat Reformasi Fiskal


Selasa, 23 Mei 2023 / 19:52 WIB
Pemerintah Tunda Kebijakan Non Populis Jelang Pemilu, Ekonom: Hambat Reformasi Fiskal
ILUSTRASI. Pelayanan pelanggan di Stasiun Pengisian Bahan Bakar Minyak Umum (SPBU) milik PT Pertamina di Jakarta, Kamis (11/5). Pemerintah Tunda Kebijakan Non Populis Jelang Pemilu, Ekonom: Hambat Reformasi Fiskal.


Reporter: Lailatul Anisah | Editor: Noverius Laoli

KONTAN.CO.ID -  JAKARTA. Pemerintah banyak menunda kebijakan non pupulis jelang pemilu. Terbaru dikabarkan pemerintah menunda kebijakan pembatasan BBM Subsudi. 

Sebelumnya, wacana kebijakan pembatasan Elpiji subsidi 3 Kg agar tepat sasaran hingga wacana kenaikan tarif BPJS juga belum ada kepastian. 

Merespon hal ini, Direktur Center of Economic and Law Studies, Bhima Yudhistira menilai kebijakan non populis jelang pemilu memang jarang terjadi. Sebaliknya, pemerintah akan lebih condong melahirkan kebijakan yang sifatnya biasanya lebih politis. 

Baca Juga: Belanja Pemerintah Pasca Pandemi Covid-19 Rendah, Pertumbuhan Ekonomi Terancam

"Seperti baru-baru ini muncul wacana ada kenaikan gaji PNS, Menteri, remunasi pegawai juga ingin dinaikan," kata Bhima pada Kontan.co.id, Selasa (23/5). 

Menurut Bhima hal ini terjadi karena pertimbangan pemerintah agar tidak ada kekacauan jelang politik. Meski begitu, pilihan pemerintah ini, menurutnya bisa menghambat reformasi fiskal di Indonesia. 

"Misalnya jika BBM tidak jadi di batasi tahun ini, tentu konsekuensinya akan menjadi over kuota yang artinya adalah anggaran subsidi kita bisa membengkak dan memperlebar defisit APBN," pungkas Bhima. 

Baca Juga: Inflasi Landai, Puncak Kenaikan Suku Bunga Acuan Sudah di Depan Mata

Untuk itu, menurutnya pemerintah harus  bijak mengambil kebijakan yang lebih dibutuhkan untuk ekonomi Indonesia ke depanya meskipun kebijakan tersebut tidak populis. 

"Ini yang harus diingatkan bahwa pemerintah perlu mengambil kebijakan yang memang menguntungkan untuk ekonomi kita ke depanya, apalagi masa jabatan efektif Jokowi tinggal satu tahun," tutup Bhima. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×