Reporter: Asep Munazat Zatnika | Editor: Adi Wikanto
Jakarta. Pemerintah masih optimistis dengan target pertumbuhan yang akan dicapai tahun ini sebesar 5% dan tahun 2017 sebesar 5,1%. Meskipun jika melihat hasil Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia Kamis (17/11) lalu, Bank Indonesia memutuskan untuk mempertahankan tingkat suku bunga acuan, atau 7 day reverse revo rate 4,75%.
Keputusan itu menunjukan kehati-hatian BI dalam menyikapi perkembangan ekonomi yang tengah terjadi, terutama ekonomi global. Apalagi, beberapa hari terakhir nilai tukar rupiah mengalami pelemahan terhadap Dollar Amerika Serikat.
BI juga menurunkan batas bawah proyeksi pertumbuhan ekonomi 2017. Awalnya otoritas moneter itu memperkirakan pertumbuhan ekonomi 2017 berada di level antara 5,1%-5,5%, namun kini proyeksinya diturunkan menjadi hanya 5%-,5,4% saja.
Menteri Koordinator bidang perekonomian Darmin Nasution mengatakan, hingga saat ini pemerintah masih tetap yakin dengan target yang ditetapkan dalam APBN 2017, sebesar 5,1%. Menurutnya, saat ini semua negara masih dalam posisi menunggu perkembangan lanjutan dari pergantian pemerintahan di AS, pasca Donald Trump terpilih.
Darmin bilang, pihaknya ingin memastikan apakah AS akan benar-benar akan melakukan kebijakan proteksionisme-nya, ataukah itu hanya retorika saat kampanye saja. Pertanyaan berikutnya, jika itu dilakukan kerjasama perdagangan dengan negara mana yang akan lebih dahulu dikurangi.
Menurutnya, ada dua negara mitra AS yang sangat mempengaruhi kegiatan perdagangan Indonesia, yaitu China dan Jepang. “Kalau dia lebih proteksionis, ekspor ke sana akan lebih sedikit,” ujar Darmin, Jumat (18/11) di Jakarta.
Sementara itu, Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan, perubahan pola perdagangan AS akan sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi. Namun, pemerintah sudah menyiapkan sejumlah langkah untuk mereduksi dampak negatifnya.
Strategi yang akan dilakukan pemerintah antara lain dengan memperkuat fondasi ekonomi dalam negeri. Diantaranya dengan mempercepat hilirisasi, dan membangun industri pendukung, untuk mengurangi ketergantungan impor dari negara-negara lain.
Oleh karenanya, pemerintah akan semakin gencar memberikan insentif untuk industri, berupa insentif pajak dan kemudahan berusaha. Dalam hal ini, Sri Mulyani menekankan pentingnya mendorongdiversifikasi pasar baru untuk produk-produk ekspor dalam negeri.
Lebih jauh menurutnya,negara yang akan merasakan dampak terbesar dari kebijakan tertutup AS ini adalah Malaysia, dan Vietnam yang menjadi saingan Indonesia. Mengingat, kedua negara itu menjadi inisiator terbetuknya Trans Pasific Partnership (TPP).
Menurut Wakil Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) Anton J. Supit mengatakan, tantangan terbesar yang dihadapi adalah risiko yang datang dari dalam negeri. egaduhan politi yang mengancam keamanan jangan sampai mengganggu kegiatan perekonomian.
Sebab, sedikit ganguan yang terjadi ditengah ketidakpastian akan menimbulkan aksi spekulasi di pasar. Menurutnya, apa yang terjadi di tingkat global pasti dirasakan oleh semua negara, jadi yang menentukan survive atau tidaknya ekonomi dalam negeri tergantung fundamental.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News