kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.520.000   12.000   0,80%
  • USD/IDR 15.880   50,00   0,31%
  • IDX 7.196   54,65   0,77%
  • KOMPAS100 1.104   9,46   0,86%
  • LQ45 877   10,80   1,25%
  • ISSI 221   0,74   0,34%
  • IDX30 449   6,10   1,38%
  • IDXHIDIV20 540   5,33   1,00%
  • IDX80 127   1,26   1,00%
  • IDXV30 135   0,57   0,43%
  • IDXQ30 149   1,56   1,06%

Pemerintah mengaku sulit mengungkit ekonomi masyarakat kelas menengah, apa sebabnya?


Jumat, 31 Juli 2020 / 04:30 WIB
Pemerintah mengaku sulit mengungkit ekonomi masyarakat kelas menengah, apa sebabnya?


Reporter: Yusuf Imam Santoso | Editor: Herlina Kartika Dewi

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Dampak pandemi corona virus disease 2019 (Covid-19) terhadap ekonomi dialami pula oleh masyarakat kelas menengah. Namun, pemerintah merasa kesulitan menggerakkan ekonomi mereka, meski sudah diguyur banyak stimulus dan insentif.

Kepala Pusat Kebijakan Ekonomi Makro Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan Hidayat Amir mengatakan ketika pemerintah memberikan stimulus kepada masyarakat kelas menengah yang lebih sedikit dari pada penduduk miskin, nyatanya lebih sulit.

Padahal, tahun ini pemerintah sudah memperlebar ruang fiskalnya dengan defisit anggaran hingga 6,34% terhadap produk domestik bruto (PDB). Secara nominal, defisit itu setara Rp 1.039 triliun. 

Baca Juga: Ini tujuh strategi pemerintah untuk pulihkan sosial-ekonomi di tahun 2021

Tujuannya, untuk meredam dampak pandemi terhadap kesehatan, sosial, dan ekonomi lewat implementasi program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN).

Amir memaparkan berbagai kebijakan sudah pemerintah berikan kepada masyarakat kelas menengah. Pertama, diskon listrik untuk pengguna 450 VA dan 900 VA, tetapi dirasa belum cukup.

Kedua, insentif pajak penghasilan (PPh) Pasal 21 dengan skema ditanggung oleh pemerintah (DTP) juga belum terserap banyak. Sebab, basis insentif ini adalah melalui pengajuan perusahaan sebagai pemberi kerja. Sehingga, tidak bisa dinikmati langsung oleh karyawan yang notabene adalah kelas menengah.

Untuk itu, Amir bilang pihaknya berencana agar insentif PPh Pasal 21 tidak perlu pakai proses pengajuan dari kantor karyawan. Misalnya, bantuan langsung tunai (BLT) dari kompensasi PPh Pasal 21 dengan cara mencocokkan data surat pemberitahuan tahunan (SPT) wajib pajak terkait. 

Namun, Amir mengakui kendalanya, data di SPT tidak mencantumkan nomor rekening wajib pajak karyawan. Dus, pemerintah kesulitan mencocokkan data SPT dengan data di perbankan, agar skema tersebut tepat sasaran.

“Ini yang sedang dicari kami evaluasi dari hari ke hari. Tapi terus terang itu yang kita sedang kesulitan, apalagi kita ekspektasi secepat mungkin, karena kalau delay tidak cepat ya dampaknya akan makin sulit,” kata Amir dalam pertemuan BKF Kemenkeu dengan Redaksi KONTAN secara virtual, Rabu (29/7). 

Ketiga, untuk mengintervensi masyarakat kelas menengah, pemerintah juga melihat mereka yang berada di sektor informal. Makanya ada program Kartu Prakerja, yang dibuat untuk orang yang sedang kehilangan pekerjaannya. Kemudian, saat ini, Kartu Prakerja digunakan untuk bansos juga.

Baca Juga: Relisasi program PEN untuk kesehatan masih mini, ini kendalanya menurut Kemenkeu  

“Memang untuk masyarakat menengah terus terang saja ini bagaikan blackspot yang sedang kita cari. Terkadang kita berpikir bisa dijalankan tapi ternyata ya rumit juga,” ujar Amir. 

Diskon listrik, insentif PPh Pasal 21 DTP, dan program Kartu Prakerja merupakan dukungan pemerintah dari sisi demand. Sambil meramu cara yang paling pas mendongkrang ekonomi kelas menengah, pemerintah juga terus berupaya menjaga dari sisi supply.

Salah satunya dengan cara mendorong daya ungkit dunia usaha baik BUMN maupun swasta untuk tidak bisa melakukan kegiatan ekonomi. Dengan begitu, diharapkan perusahaan tidak melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK). 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Working with GenAI : Promising Use Cases HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective

[X]
×