Reporter: Dendi Siswanto | Editor: Khomarul Hidayat
KONTAN.CO.ID-JAKARTA. Penerapan kebijakan cukai minuman berpemanis dalam kemasan (MBDK) hingga saat ini masih belum ada titik terang.
Padahal, Indonesia termasuk negara yang memiliki prevalensi obesitas anak yang tinggi. Oleh karena itu, penerapan cukai minuman berpemanis perlu segera dilakukan.
Hingga saat ini, pemerintah masih belum jelas kapan akan merealisasikan kebijakan tersebut. Padahal penerimaan cukai minuman berpemanis sudah ditargetkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
"Saya malah belum tahu. Nanti saya lihat dulu," ujar Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan Febrio Nathan Kacaribu di Gedung DPR RI, Kamis (20/6).
Pernyataan Febrio tersebut tentu tidak menjawab terkait kepastian kebijakan cukai minuman berpemanis diterapkan.
Sebelumnya, Direktur Jenderal Bea dan Cukai Askolani mengatakan, apabila penerapan cukai plastik dan minuman berpemanis tidak dapat dilaksanakan pada tahun ini maka kebijakan tersebut akan disiapkan untuk dilaksanakan pada tahun 2025.
"Target kan bisa kami sesuaikan kebijakan, kan kami kebijakan harus lihat kondisi di lapangan," ujar Askolani kepada awak media, Senin (10/6).
Baca Juga: Implementasi Cukai Plastik dan Minuman Berpemanis Berpotensi Mundur ke 2025
Askolani bilang, penerapan cukai plastik dan minuman berpemanis masih akan terus dibahas Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kemenkeu. Implementasinya akan sangat bergantung dari keputusan pemerintah dan kondisi di lapangan.
Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) justru menyatakan keprihatinannya terkait sikap pemerintah yang masih menunda kebijakan cukai minuman berpemanis.
Pada Februari 2020, Menteri Keuangan Sri Mulyani telah menyampaikan bahwa potensi penerimaan dari cukai minuman berpemanis bisa mencapai Rp 6,25 triliun. Angka ini tidak hanya signifikan dalam mendukung penerimaan negara, tetapi juga sebagai langkah nyata untuk mengurangi konsumsi minuman berpemanis dalam kemasan yang merugikan dan membahayakan kesehatan.
YLKI menilai bahwa penundaan dari tahun 2020 sampai 2023 ini tidak sejalan dengan urgensi masalah kesehatan dan lingkungan yang dihadapi bangsa kita saat ini. Data terbaru Survei Kesehatan Indonesia 2023 menunjukkan prevalensi diabetes pada usia 15 tahun keatas meningkat 11 persen dari sebelumya 10,9%.
Tentunya hal ini sangat mengkhawatirkan, anak-anak sebagai modal utama dalam mencapai Generasi Emas 2045 terancam terganggu kesehatannya, yang merupakan dampak langsung dari konsumsi minuman berpemanis yang tinggi.
YLKI menekankan bahwa cukai terhadap minuman berpemanis seharusnya tidak lagi menjadi wacana, tetapi harus segera diimplementasikan demi melindungi generasi muda dari risiko penyakit yang serius.
Plt Ketua Harian YLKI, Indah Suksmaningsih menyebutkan, berdasarkan hasil survei yang dilakukan YLKI di 10 kota di Indonesia, sebanyak 25,9% anak berusia kurang dari 17 tahun mengonsumsi minuman berpemanis setiap hari dan sebanyak 31,6% mengonsumsi minuman berpemanis 2-6 kali dalam seminggu.
Anak-anak adalah konsumen yang rentan dan sering menjadi target utama pemasaran produk minuman berpemanis. Penundaan kebijakan cukai ini berarti anak-anak kita akan terus terpapar pada produk yang berisiko tinggi terhadap kesehatan mereka. Saat ini, prevalensi diabetes dan obesitas pada anak-anak menunjukkan tren yang mengkhawatirkan.
Tanpa adanya intervensi kebijakan yang tegas, mereka akan menjadi korban berikutnya dari kebijakan yang lambat diterapkan.
Baca Juga: Rencana Kebijakan PPN 12% Akan Merugikan Industri Minuman Ringan
Data SKI 2023 menunjukkan bahwa sebanyak 59,1% penyebab disabilitas (melihat, mendengar, berjalan) pada penduduk berusia 15 tahun ke atas adalah penyakit yang didapat, di mana 53,5% penyakit tersebut adalah penyakit tidak menular, terutama hipertensi (22,2%) dan diabetes (10,5%).
"Ini jelas fenomena yang sangat mengkhawatirkan," kata Indah.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News