Reporter: Benedictus Bina Naratama | Editor: Yudho Winarto
JAKARTA. Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PU-PERA) akan meningkatkan pembangunan perumahan dari 200.000 unit menjadi 440.000 unit rumah per tahun. Jumlah ini meliputi rumah formal dan swadaya.
Perumahan formal adalah perumahan yang dibangun oleh pengembang swasta maupun BUMN dan BUMD. Sedangkan perumahan swadaya adalah rumah atau perumahan yang dibangun atas upaya dan prakarsa masyarakat, sendiri maupun secara berkelompok yang mencakup pembangunan rumah baru atau perbaikan.
Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, Basuki Hadimuljono mengatakan, peningkatan penyediaan rumah ini untuk menutupi backlog atau kekurangan pasokan rumah sebanyak 15 juta rumah per tahun. "Kita ingin mengecilkan backlog sebesar 2,2 juta rumah per tahun, perumahan formal maupun perumahan swadaya," ungkap Basuki, Selasa (11/11).
Menurut Basuki, dari target pengurangan backlog sebesar 2,2 juta unit rumah, pemerintah membangun perumahan formal 1,5 juta unit dan rumah swadaya 700.000 unit.
Program ini menjadi prioritas lima tahun ke depan bagi Kementerian PU-PERA dalam menyediakan rumah khusus bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR). "Intinya, pemerintah ingin mempercepat penyediaan rumah khusus bagi MBR," imbuh Basuki.
Ketua Umum DPP Asosiasi Pengembangan Perumahan dan Permukiman Seluruh Indonesia (Apersi), Eddy Ganefo menyambut positif rencana pemerintahan baru ini.
Eddy optimistis, Kementerian PU-PERA dapat mewujudkan target menaikkan penyediaan rumah untuk mengurangi backlog perumahan. Hanya saja, kata Eddy, target itu bisa tercapai jika pemerintah mau memberi fasilitas dan kemudahan bagi para pengembang.
"Biaya-biaya izin tidak resmi harus dihilangkan. Selain itu, harus ada kemudahan membuat sertifikat rumah dan bantuan pembiayaan atau subsidi," kata Eddy.
Eddy menjelaskan, saat ini ada beberapa hambatan untuk mengentaskan backlog. Antara lain, masih adanya keterbatasan lahan untuk pembangunan perumahan. Harga lahan pun cenderung mahal sehingga tidak ekonomis untuk dikembangkan jadi perumahan MBR.
Eddy mengkritisi, tingginya backlog perumahan, salah satunya dipicu kurangnya komunikasi antara pemerintah dengan pengembang dan asosiasi perumahan. "Keluhan mereka sering tidak didengar oleh pemerintah," imbuh dia.
Karena itu, Eddy berharap, demi mewujudkan peningkatan pembangunan perumahan, ke depan pemerintah harus lebih sering mendengar masukan para pengembang.
Apalagi, Eddy menghitung, anggaran yang dibutuhkan pemerintah untuk menyediakan 440.000 rumah per tahun mencapai Rp 28 trilun. Padahal, pemerintah belum memiliki dana yang cukup.
Juga belum memiliki skema pembiayaan perumahan yang mampu menutup backlog secara bertahap. "Berbagai skema pembiayaan belum efektif membuka akses MBR untuk memiliki rumah," kata Eddy.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News