Reporter: Martina Prianti,Uji Agung Santosa | Editor: Test Test
JAKARTA. Penggodokan Rancangan Undang-Undang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (RUU PDRD) antara pemerintah dan DPR berjalan alot. Terutama saat membahas pajak rokok, usulan dari Fraksi Partai Golkar.
Rapat yang digelar Kamis (11/9) malam di Senayan menemui jalan buntu setelah pemerintah dan DPR sama-sama keras dengan pendiriannya. Khususnya soal siapa yang paling berhak memungut pajak rokok di daerah.
Ketua Panitia Khusus RUU PDRD Harry Azhar Azis bilang, pemerintah menginginkan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai sebagai lembaga yang paling berhak memungut pajak rokok. Alasannya, "Pungutan pajak rokok dijadikan satu ke dalam besaran cukai rokok yang dipatok pemerintah pusat," kata Harry Jumat (12/9).
Sedangkan DPR meminta urusan pungut-memungut pajak rokok tersebut menjadi tugas pemerintah provinsi. Anggota dewan lantas menawarkan dua metode pemungutan tapi dengan besaran pajak yang sama yakni 25%. Pertama, 25% dari harga jual rokok. Kedua, 25% dari nilai cukai rokok yang ditetapkan pemerintah pusat.
Jadi, "Persoalannya sekarang apakah pusat mau memberikan ruang bagi daerah untuk memungut sendiri pajak atas rokok atau tidak? Karena secara umum tidak ada keberatan di dalam intern DPR sendiri untuk memberikan ruang itu ke daerah," tandas Harry. Rencananya, Harry menambahkan, dana dari pungutan pajak rokok ini hanya boleh dipakai untuk meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan masyarakat di daerah.
Pemerintah mengaku masih ingin memikirkan usulan DPR itu. Soalnya, rokok tergolong barang dengan mobilitas tinggi. Makanya, kalau ide anggota dewan tersebut dilaksanakan, daerah juga akan kesulitan memungut pajak rokok. "Bisa juga pajak rokok ini menyebabkan pajak berganda tapi kita lihat saja pembahasan selanjutnya," ujar Direktur PDRD Departemen Keuangan Budi Sitepu.
Tak cuma penggodokan pajak rokok saja yang alot, tapi juga pajak lingkungan dan bea perolehan hak atas tanah. Kedua pungutan ini merupakan usulan pemerintah. "Karena belum ada kesepakatan maka pembahasannya akan dilanjutkan minggu depan," ujar Harry.
Harry mengungkapkan, rapat dua hari lalu berhasil menyepakati soal aturan lebih lanjut mengenai pengenaan pajak bahan bakar untuk kendaraan pribadi. Nantinya, Presiden akan mempunyai wewenang mencabut peraturan daerah (perda) tentang pajak bahan bakar untuk kendaraan pribadi jika kebijakan tersebut menimbulkan keributan. Tapi, "Bila dalam waktu tiga tahun tidak terjadi gejolak maka itu akan berlaku penuh," kata Harry.
Lahirnya wewenang Presiden itu berangkat dari adanya kekhawatiran, bahwa kenaikan tarif pajak bahan bakar untuk kendaraan pribadi dari 5% menjadi maksimal 10% bakal mengerek harga BBM, yang kemudian membuat harga bensin di tiap daerah menjadi berbeda-beda.
Nah, kalau sudah begini pasti akan menyulut gejolak sosial dan menghidupkan penyelundupan BBM antardaerah. Itu sebabnya, "Kami me-review lagi untuk pengaturan pajak bahan bakar setelah mendapat respon dari masyarakat, apalagi ini mau pemilu," ujar Harry.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News