Reporter: Benedictus Bina Naratama | Editor: Uji Agung Santosa
JAKARTA. Para tenaga kerja Indonesia di lapangan minyak lepas pantai (offshore) masih sulit bersaing dengan pekerja offshore negara lain. Pasalnya, hingga saat ini, banyak dari awak kapal perusahaan offshore Indonesia tak memiliki sertifikat internasional.
Deputi Menteri Koordinator Perekonomian Bidang Koordinasi Perniagaan dan Kewirausahaan, Edy Putra Irawady, mengatakan, saat ini Indonesia masih impor tenaga kerja dari luar negeri. "Yang kita butuhkan sekarang bukan jumlahnya, tapi sertifikat internasionalnya," jelas Edy, Selasa (23/9).
Edy menjelaskan, para tenaga kerja Indonesia yang tidak memiliki sertifikat internasional, kesulitan bekerja di perusahaan pertambangan. "Contohnya para pekerja offshore sebagai penarik tali kapal, kita masih impor dari Filipina dan Bangladesh," imbuh Edy.
Perusahaan minyak offshore lebih memilihi tenaga kerja dari negara lain karena mereka memiliki sertifikat internasional. Meskipun, perusahaan tersebut harus membayar gari para pekerja impor itu lebih mahal dibandingkan tenaga kerja asal domestik.
Edy bilang, tenaga kerja bersertifikat internasional digaji US$ 1.600 per bulan atau setara Rp 19 juta, dengan kurs Rp 11.900 per dolar AS. Sedangkan tenaga kerja Indonesia yang tidak bersertifikat internasional hanya menerima bayaran US$ 300-US$ 500 atau maksimal Rp 6 juta per bulan.
Karena itu, pemerintah akan membuat pelatihan sumber daya manusia bersertifikat internasional. Selain itu, melalui Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) pemerintah juga telah membuka sekolah setara Diploma 2 untuk para pekerja offshore. "Nanti di setiap semester akan diberi sertifikat internasional. Jadi, kalau siswa tidak mampu membayar biaya sekolah lagi, mereka sudah memiliki sertifikat Internasional yang dasar," jelasnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News