Reporter: Asnil Bambani Amri | Editor: Asnil Amri
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pemerintah dianggap telah melakukan deskriminasi dalam upaya pengendalian tembakau di Indonesia. Hal ini disampaikan oleh Gina Sabrina dan Fazal Akmal selaku tim peneliti dari Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI). Peneliti menemukan, ada penerapan standar ganda dalam upaya pembuatan kebijakan hukum dalam hal pengendalian produk yang mengandung zat. adiktif
“Padahal, hukum dapat menjadi alat rekayasa sosial demi mengendalikan produk tembakau agar tidak dapat dijangkau oleh anak-anak dan remaja sama seperti minuman beralkohol. Hal ini penting, mengingat bahwa negara memiliki kewajiban atas pemenuhan kesehatan dengan standar tertinggi kepada setiap orang,” kata Gina dalam pernyataan tertulisnya, Rabu (26/7).
Kesimpulan Gina itu diperoleh setelah ia melakukan studi perbandingan kebijakan pengendalian minuman beralkohol dengan produk tembakau. Dari sisi perdagangan saja, produk minuman beralkohol bisa dilarang dijual di minimarket, namun rokok tidak bisa diterapkan kebijakan yang sama.
Penelitian tersebut melahirkan beberapa rekomendasi terkait upaya pengendalian tembakau demi menjaga generasi bangsa yang berkualitas. Pertama, pemerintah beserta jajaran kementerian dan lembaga perlu menyamakan perlakuannya terhadap produk tembakau sebagaimana yang telah dilakukan dalam mengatur produk minuman beralkohol.
Baca Juga: Multisarana Intan Eduka (MSIE) Akan IPO dan Lepas 417,3 Juta Saham
Dengan begitu, tidak ada standar ganda dalam meregulasi produk yang sama-sama mengandung zat adiktif. Pemerintah juga perlu menekankan pentingnya aspek kesehatan, alih-alih sekedar mempertimbangkan aspek ekonomi dari konsumsi produk tembakau. Hal-hal tersebut pada akhirnya dapat direalisasikan dengan memprioritaskan pembuatan Rancangan Undang-Undang Pengendalian Produk Tembakau dan memperketat implementasi kebijakannya di lapangan.
Sementara itu, Adhi Wibowo Nurhidayat selaku praktisi Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PDSKJI) memaparkan, ada banyak bahaya produk tembakau yang mengintai anak, mulai dari ketagihan, peningkatan dosis, hingga keterpaparan anak pada narkotika. Menurutnya, proses pematangan otak masih berlangsung hingga 20 tahun sehingga bila anak sudah mengkonsumsi rokok yang mengandung zat adiktif nikotin sebelum mencapai usia tersebut, maka mereka akan terus teradiksi.
Menanggapi hasil penelitian tersebut, Anggin Nuzula Rahma, Plt. Asisten Deputi Pemenuhan Hak Anak atas Kesehatan dan Pendidikan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) mengungkapkan kekhawatiran yang sama. “Tugas tersebut (pengendalian) bukan hanya tugas Kemen PPPA, namun merupakan tugas bersama antar instansi pemerintahan,” kata Anggin.
Sementara itu, Ketua Tim Kerja Pengendalian Penyakit Akibat Tembakau, P2PTM, Kemenkes, Benget Saragih mendukung hasil studi yang disampaikan. “Kami sangat setuju jika minol (minuman beralkohol) dan rokok diatur sama tanpa kesenjangan.” Menurutnya, selain masyarakat, kementerian dan lembaga terkait dan juga harus mendukung kebijakan pengendalian produk tembakau demi mendorong perbaikan generasi ke depannya.
Baca Juga: VTKR Gandeng Synland Bangun Pabrik Retrofit Kendaraan Konvensional Menjadi Listrik
Moga Simatupang, Plt. Direktur Jenderal Perlindungan Konsumen dan Tertib Niaga (PKTN) Kementerian Perdagangan bilang, kementeriannya telah melakukan proses komparasi dengan lembaga pengendalian tembakau di Singapura. Ia bilang, Kementerian Perdagangan berusaha koordinasi dengan kementerian dan lembaga lain untuk merevisi kebijakan peredaran rokok yang sudah ada, yakni melalui revisi PP 109 Tahun 2012.
Di sisi lain, Edy Sutopo selaku Direktur Industri Minuman, Hasil Tembakau dan Bahan Penyegar (Mintemgar) Kementerian Perindustrian menyatakan perlunya upaya edukasi yang melibatkan tokoh masyarakat, tokoh keagamaan, serta orang tua. Namun, Edy juga menekankan perlunya memperhatikan kondisi industri hasil tembakau (IHT) di Indonesia yang menurutnya semakin menyusut.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News