kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45920,31   -15,20   -1.62%
  • EMAS1.347.000 0,15%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Pasal penghinaan presiden di pertahankan di RUU KUHP dengan enam pertimbangan ini


Kamis, 10 Juni 2021 / 14:05 WIB
Pasal penghinaan presiden di pertahankan di RUU KUHP dengan enam pertimbangan ini


Reporter: Siti Masitoh, Syamsul Ashar | Editor: Syamsul Azhar

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pemerintah memiliki enam pertimbangan mengapa memutuskan untuk mempertahankan pasal penghinaan presiden di Rancangan Undang-Undang (RUU) Tentang  Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. 

Berdasarkan itulah, Maret 2015 pemerintah melalui Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia menerbitkan naskah akademik mengenai Rancangan Undang -Undang Tentang  Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang didalamnya mengatur pertimbangan pasal penghinaan presiden.

Ada enam alasan mengapa pemerintah perlu mempertahankannya ketentuan mengenai pasal Penghinaan Presiden di RUUKHUP. Hal ini seperti tertuang di dokumen naskah akademik, halaman 126-129.

Pertama, kepentingan/benda hukum (rechtsbelangan/rechtsgood) atau nilai dasar (“basic values”) yang ingin dilindungi oleh delik penghinaan di pasal pasal penghinaan presiden adalah “martabat/derajat kemanusiaan” (human dignity) yang merupakan salah satu nilai-universal yang dijunjung tinggi;

Kedua, pertimbangan pasal penghinaan presiden karena penghinaan pada hakikatnya merupakan perbuatan yang sangat tercela (dilihat dari berbagai aspek: moral, agama, nilai-nilai kemasyarakatan dan nilai-nilai HAM/ kemanusiaan), karena “menyerang/merendahkan martabat kemanusiaan” (menyerang nilai-universal); oleh karena itu, secara teoritik dipandang sebagai “rechtsdelict”“intrinsically wrong”, “mala per se” dan oleh karena itu pula dilarang (dikriminalisir) di berbagai negara;

Ketiga, penentuan ruang lingkup jenis tindak pidana penghinaan bisa berbeda-beda untuk setiap masyarakat/negara, termasuk pasal penghinaan presiden ; hal ini termasuk masalah kebijakan kriminal dan kebijakan sosial yang terkait erat dengan nilai-nilai sosio-filosofis, sosio-politis, dan sosio-kultural setiap bangsa/negara;

Keempat, ruang lingkup penghinaan orang biasa; orang-orang tertentu (yang sedang menjalankan ibadah dan petugas agama; hakim/peradilan; golongan penduduk; simbol/lambang/aparat/lembaga kenegaraan (bendera/lagu kebangsaan; lambang kenegaraan; pejabat/pemegang kekuasaan umum; pemerintah; Presiden/Wakil Presiden, termasuk dari negara sahabat; simbol/lembaga/substansi yang disucikan (Tuhan, firman dan sifat-Nya; agama, rasul, nabi, kitab suci, ajaran agama, atau ibadah keagamaan; bahkan orang yang sudah mati. Dengan pertimbangan inilah maka perlu pengaturan pasal penghinaan presiden, 

Kelima, dirasakan janggal kalau penghinaan terhadap orang biasa, orang yang sudah mati, bendera/lagu kebangsaan, lambang kenegaraan, petugas/pejabat umum, dan Kepala Negara sahabat saja dijadikan tindak pidana; sedangkan penghinaan terhadap Presiden tidak. Terlebih status/posisi/kedudukan/fungsi/tugas Presiden berbeda dengan orang biasa, dilihat dari sudut sosiologis, hukum dan ketata-negaraan. Karena itulah pasal penghinaan presiden perlu ada di RUU KUHP. 

Keenam, karena status/posisi Presiden berbeda dengan orang biasa pada umumnya, maka tidak pada tempatnya hal ini dihadapkan/dipermasalahkan dengan prinsip “equality beforethe law”. Apabila dipermasalahkan demikian, semua perbedaan jenis tindak pidana yang didasarkan pada status/kualifikasi yang berbeda (seperti terdapat dalam jenisjenis penghinaan, pembunuhan, penganiayaan, dsb.) juga berarti harus ditiadakan karena dipandang bertentangan dengan prinsip “equality before the law”.Dengan pertimbangan ini pasal penghinaan presiden tetap perlu ada di KUHP.

Karena itulah Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Laoli Rabu (9/6) menegaskan, Pemerintah kembali mengusulkan pasal penghinaan Presiden dan Wakil Presiden di Rancangan Undang-Undang (RUU) Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) karena Indonesia tidak ingin menjadi sebuah negara yang liberal.

SELANJUTNYA>>>




TERBARU

[X]
×