Reporter: Noverius Laoli | Editor: Dupla Kartini
JAKARTA. Persidangan dugaan kartel ayam di Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) meruncing. Dalam persidangan, Kamis (21/7), pengusaha menghadirkan pakar hukum tata negara Zainal Arifin Mochtar
Dalam keterangannya di depan majelis hakim KPPU, Zainal mengatakan, Surat Dirjen Peternakan dan Kesehatan Hewan (PKH) Kementerian Pertanian (Kemtan) kepada 12 perusahaan pembibitan ayam untuk melakukan apkir dini indukan ayam (parent stock) merupakan produk hukum yang sah. Maka jika kebijakan tersebut dianggap melanggar peraturan perundangan atau tidak tepat, harus diuji melalui proses hukum, yaitu melalui Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).
Oleh karena itu, ia bilang, KPPU tidak sepatutnya menghukum 12 perusahaan pembibitan ayam tersebut, karena mereka hanya menjalankan kebijakan pemerintah.
“Kalau KPPU menyatakan 12 perusahaan terlapor ini melakukan kartel, maka para terlapor juga bisa menggugat pemerintah ke PTUN karena mereka hanya menjalankan kebijakan pemerintah. Para terlapor yang menjalankan kebijakan apkir dini adalah pihak yang dirugikan, karena harus memotong ayam yang masih produktif,” ujar Zainal.
Zainal menjelaskan, produk pangan, termasuk ayam, merupakan hajat hidup orang banyak. Karena itu, sesuai Pasal 33 ayat 2 UUD 1945, apabila terdapat permasalahan di bidang pangan sudah seharusnya negara atau pemerintah ikut campur atau hadir menyelesaikannya. Apa yang dilakukan Dirjen PKH dengan mengeluarkan surat yang menginstruksikan kepada perusahaan pembibitan untuk melakukan apkir dini induk ayam adalah bentuk kebijakan yang diambil pemerintah dalam rangka ikut campur menyelesaikan masalah.
Kebijakan pemerintah ini harus diambil oleh orang yang berwenang serta harus berdasarkan hukum dan dalam bentuk produk hukum. Dalam hal ini, surat Dirjen PKH yang menginstruksikan apkir dini sudah bisa dikategorikan sebagai sebuah produk hukum. Walaupun ada kata kesepakatan dalam surat tersebut, haruslah dilihat dalam konteks aspirasi dan partisipasi seluruh pemangku kepentingan (stakeholders).
“Jadi, saya melihat kesepakatan di sini adalah bentuk aspirasi dan partisipasi masyarakat dalam sebuah kebijakan, bukan sebagai kartel. Kalau memang kesepakatan itu dalam rangka kartel, tidak perlu sampai ada demo dan rapat-rapat puluhan kali. Demo dan tarik ulur dalam rapat-rapat tersebut merupakan aspirasi dan partisipasi masyarakat,” paparnya.
Sebagaimana diketahui, di akhir tahun 2015, Dirjen Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian membuat kebijakan berupa instruksi pengapkiran 6 juta ekor indukan ayam atau Parent Stock (PS) di seluruh Indonesia. Kebijakan ini dilakukan untuk memperbaiki harga ayam hidup (live bird) di tingkat peternak yang pada saat itu jatuh di bawah harga pokok produksi (HPP) akibat berlebihnya pasokan bibit ayam atau anak ayam usia sehari (day old chick/DOC).
Instruksi tersebut tertuang dalam Surat Edaran Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian dengan nomor 15043/FK.010/F/10/2015 perihal Penyesuaian Populasi Parent Stock yang ditandatangani pada 15 Oktober 2015.
Apkir dini tahap I (Oktober-November 2015) dan tahap II (Desember 2015) telah dilakukan dengan total 3 juta ekor. Namun, kemudian KPPU meminta apkir dini dihentikan dan memperkarakannya dengan tuduhan terdapat pelanggaran kartel.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News