Reporter: Ghina Ghaliya Quddus | Editor: Sanny Cicilia
JAKARTA. Kementerian Keuangan (Kemkeu) akan mengubah sejumlah kebijakan pajak. Selain tarif pajak penghasilan (PPh), pemerintah juga akan mengubah basis penghitungan pajak. Rencananya, perubahan ini masuk dalam revisi Undang Undang Pajak Penghasilan (PPh).
Staf Ahli Menteri Keuangan bidang Kepatuhan Pajak sekaligus Ketua Tim Reformasi Pajak Suryo Utomo mengatakan, revisi UU PPh memang ditunggu banyak pihak. Rencananya, pasca kuartal II, rencana revisi UU PPh ini akan dibahas lebih tajam.
Usulan yang masuk, pertama, penurunan tarif PPh badan. Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kemkeu melihat, PPh badan bisa turun sebesar 2% atau kurang. "Perubahan tarif masih dikaji. Yang jelas, kami ingin simplifikasi," ujarnya, Selasa (25/4).
Kedua, Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak juga mengusulan penghapusan penghitungan PPh final untuk beberapa sektor industri. Antara lain: konstruksi dan properti. Pajak mengusulkan hitungan pajak berbasis pembukuan, tak lagi pajak final seperti yang berlaku saat ini.
Kepala Pusat Kebijakan Pendapatan Negara BKF Goro Ekanto mengatakan, perubahan PPh final harus mempertimbangkan efeknya ke penerimaan negara, inflasi, serta kepentingan pengusaha.
Untuk itu, Goro minta agar Ditjen Pajak memperdalam usulan atas revisi UU PPh. Apalagi, sebelumnya, sudah ada perubahan PPh final jadi PPh non final. "Kalau mau dinonfinalkan lagi, kajian harus dalam," kata Goro ke KONTAN. Risiko perubahan aturan itu mengharuskan pajak paham struktur pembukuan perusahaan secara detail.
Namun, Direktur Jenderal Pajak Ken Dwijugiasteadi bilang, penghapusan PPh final, pajak yang harus dibayarkan wajib pajak (WP) bisa lebih kecil karena dikurangi dengan biaya. Makanya, WP wajib melakukan pembukuan.
Ditjen Pajak bisa melacak penerimaan potensi pajak lain jika ada pembukuan. "Penerimaan negara bisa dapat dua kali lipat," kata Ken yakin.
Menurut Ken, jika penghitungan pajak dilakukan dengan PPh final, kontraktor yang rugi, misalnya, tetap akan kena pajak. Kontraktor atau pengusaha properti juga akan diuntungkan. Meski labanya besar, mereka hanya dikenakan tarif kecil yaitu 2,5%.
Selain properti, perubahan penghitungan PPh final juga akan berlaku ke usaha stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU) dan usaha mikro kecil menengah (UMKM) yang kena tarif 1%.
Peneliti pajak Danny Darussalam Tax Center Bawono Kristiadji bilang, perubahan tarif pajak penghasilan harus melihat tujuan perubahan, untuk menarik investasi atau menggedekan penerimaan.
Jika pro investasi, kebijakan pajak tak hanya dengan memangkas tarif tapi bisa dengan memberikan insentif seperti tax holiday, tax allowance. Desain rezim pajak juga harus menarik minat investasi. "Tapi harus dirumuskan hati-hati karena pemerintah harus memastikan kebijakan ini efektif menarik investasi," ujar Bawono.
Risiko kebijakan ini akan menurunkan penerimaan. Apalagi, jika revisi tarif juga berlaku ke PPh perorangan. Hanya, penurunan tarif pajak serta insentif pajak akan berdampak pada aktivitas ekonomi di jangka panjang.
Usulan tarif dan tarif pajak yang berlaku:
PP Nomor 34/2016 tentang PPh atas Penghasilan dari Pengalihan Hak Tanah dan Bangunan, dan Perjanjian Pengikatan Jual Beli Tanah dan/atau Bangunan.
Objek pajak:
Yang menjadi objek PPh Final adalah: atas penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi atau badan dari:
1. Pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan; atau
2. Perjanjian pengikatan jual beli atas tanah dan/atau bangunan beserta perubahannya
Berdasarkan aturan baru tersebut maka transaksi berupa Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) tanah dan/atau bangunan sudah terutang PPh Final walaupun belum dibuat Akta Jual Beli.
Terdapat 3 jenis tarif PPh Final yang diatur:
1. 2,5% dari jumlah bruto nilai pengalihan hak atas tanah dan/ atau bangunan selain pengalihan hak atas tanah dan/ atau bangunan berupa rumah sederhana atau rumah susun sederhana yang dilakukan oleh Wajib Pajak yang usaha pokoknya melakukan pengalihan hak atas tanah dan/ atau bangunan;
2. 1% dari jumlah bruto nilai pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan berupa rumah sederhana dan rumah susun sederhana yang dilakukan oleh wajib pajak yang usaha pokoknya melakukan pengalihan hak atas tanah dan/ atau bangunan; atau
3. 0% atas pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan kepada pemerintah, badan usaha milik negara yang mendapat penugasan khusus dari Pemerintah, atau badan usaha milik daerah yang mendapat penugasan khusus dari kepala daerah, sebagaimana dimaksud dalam undang-undang yang mengatur mengenai pengadaan tanah bag, pembangunan untuk kepentingan umum.
UU No. 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan
Peraturan Pemerintah No. 46/ 2013 tentang Pajak Penghasilan Atas Penghasilan dari Usaha Yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak Yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu
Dalam PP 46 ada tiga klasifikasi tarif yang berlaku bagi badan yang penghasilan brutonya berbeda-beda.
1. Badan usaha yang penghasilan bruto di bawah Rp 4,8 miliar kena pajak final 1%,
2. Badan usaha yang penghasilan bruto di atas Rp 4,8 miliar dan kurang dari Rp 50 miliar kena pajak dengan tarif 25% dan dapat fasilitas diskon 50%.
3. Badan usaha yang penghasilan bruto (gross income-nya) lebih dari Rp 50 miliar, tariff normal 25%.
Sumber: PPNo. 46 Tahun 2013, PP 34 /2016
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News