Reporter: Syarifah Nur Aida | Editor: Sanny Cicilia
JAKARTA. Giliran Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang menyatakan beras untuk masyarakat miskin (raskin) sebagai program yang tidak tepat sasaran. KPK menyebut raskin tidak tepat jumlah, orang, kualitas, dan tidak tepat waktu dalam penyampaian.
Sebelumnya beberapa lembaga sudah menyatakan program tersebut tidak tepat sasaran. Di antaranyam Bank Dunia, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Semeru, serta Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan,
Direktur Jenderal Anggaran Kementrian Keuangan, Askolani menyatakan pihaknya mengapresiasi temuan KPK tersebut dan membenarkan soal kualitas stok beras di Badan Urusan Logistik (Bulog) yang seringkali tak sesuai harapan. "Ini akan menjadi evaluasi untuk Bulog," papar Askolani dalam konferensi pers di Kemenkeu, Kamis (10/4).
Soal tidak tepatnya jumlah penerima raskin, Askolani menjabarkan muasal polemik tersebut. Pada 2014, pemerintah dan Badang Anggaran DPR setuju menetapkan 15,5 juta kepala keluarga mendapat 15 kilogram raskin per bulan dalam kurun waktu 12 bulan. Kemudian, anggaran raskin ditetapkan berdasarkan hasil kali jumlah penerima raskin dengan harga pokok penjualan.
Kewenangan Badan Urusan Logistik (Bulog) disebut hanya sebagai distributor. Selanjutnya, raskin dibagikan oleh pemerintah daerah masing-masing kepada setiap RTS (Rumah Tangga Sasaran). Di sinilah terjadi ketidaksesuaian target dengan penerima. "Penyaluran oleh pemda tidak memakai patokan 15,5 juta KK," pungkas Askolani.
Wewenang pemda juga termasuk meningkatkan harga raskin hingga Rp 2.000-2.600 per kilogram dari harga awal sebesar Rp 1.600 per kilogram. Kenaikan harga raskin variatif, tergantung letak daerah dan tidak dimasukkannya ongkos distribusi raskin ke RTS dalam Anggaran Pendapatan dan Belanjar Daerah (APBD).
Askolani tidak menutup kemungkinan ekstensi peran Bulog sebagai penyalur langsung raskin ke RTS untuk menjaga agar harga dan target penerima raskin tepat sasaran. Namun, itu berarti ada penambahan anggaran. "Nanti lebih ribet karena semua dari pusat sementara pemda ada porsinya untuk kontribusi," ungkapnya.
Pengamat ekonomi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Latief Adam menilai pemerintah daerah harus tetap berperan dalam penyaluran raskin sebagai bagian dari desentralisasi kewenangan pemerintah pusat. Pemda disebut sebagai ujung tombak raskin karena lebih paham atas kondisi dan situasi masyarakat dibanding Bulog.
Lebih jauh, Latief menyebut pemda harus membuang anggapan bahwa program raskin hanya milik pemerintah pusat sehingga ada pos transportasi raskin dalam anggaran APBD. Soal sinkronisasi data, pemda diminta terus memperbaharui penerima raskin jika kuotanya melebihi ketetapan pemerintah pusat. "Pemda berhak mengajukan usulan penambahan kuota jika daerahnya memang membutuhkan," tutup Latief.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News