kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45898,78   -24,72   -2.68%
  • EMAS1.326.000 0,00%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Opsi baru pajak bisnis digital disiapkan


Senin, 26 Maret 2018 / 11:59 WIB
Opsi baru pajak bisnis digital disiapkan
ILUSTRASI. Ilustrasi Opini - Mendongkrak Pajak di Era Digital


Reporter: Ghina Ghaliya Quddus | Editor: Wahyu T.Rahmawati

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pembahasan pajak untuk ekonomi digital dalam pertemuan G-20 di Argentina beberapa waktu lalu memang belum menjadi kesepakatan global. Meski begitu, Pemerintah Indonesia bakal menyiapkan aturan pajak bisnis digital tanpa harus menunggu lahirnya kesepakatan bersama.

Kepala Pusat Kebijakan Pendapatan Negara Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan Kemkeu Rofyanto Kurniawan menyatakan, sejauh ini ada beberapa negara yang telah melakukan pendekatan dengan provider di luar yurisdiksi. "Beberapa negara meluaskan definisi badan usaha tetap (BUT). Misalnya, Italia menerapkan definisi BUT tidak hanya melihat lokasi perusahaan, tapi juga transaksi yang dilakukan," kata Rofyanto kepada KONTAN akhir pekan lalu.

Menurutnya, jika suatu usaha jasa di luar yurisdiksi melakukan transaksi online lebih dari 3.000 kali dengan perorangan atau dengan badan usaha domestik, sudah akan terkena retribusi atau levy tax. Dan, kebijakan pajak tersebut mendapatkan respons positif dari perusahaan digital di beberapa negara yang telah menerapkannya. Oleh karena itu, tidak mustahil kebijakan serupa akan berlaku pula di Indonesia.

Dalam penerapan pajak e-commerce, Rofyanto menyebutkan, yang paling penting adalah komunikasi dan pendekatan. Soalnya, para provider kebanyakan berada di luar yurisdiksi Indonesia.

Kepala BKF Suahasil Nazara menambahkan, Indonesia memang tidak berada dalam posisi menunggu inclusive framework untuk merekomendasikan kebijakan. Indonesia juga belum memilih jalan keluar sendiri dengan membuat aturan pajak baru mengenai ekonomi digital lintas yurisdiksi atau negara. "Indonesia aktif di forum global untuk memberi warna konsensus. Jadi tidak cuma menunggu," imbuhnya.

Cuma, Darussalam, Managing Partner Danny Darussalam Tax Center (DDTC), mengatakan, kalau membaca seluruh dokumen laporan interim di pembahasan G-20 soal pajak ekonomi digital, justru prospek konsensus global itu makin tidak jelas. Namun demikian, laporan interim itu menyediakan suatu panduan dalam mendesain kebijakan domestik mengenai perpajakan ekonomi digital yang bersifat sementara.

Panduan ini secara tidak langsung mengamini aksi unilateral yang dilakukan beberapa negara. "Menunggu suatu konsensus yang belum jelas prospeknya, malah bisa merugikan. Tetapi, langkah yang diambil Indonesia harus mengikuti panduan laporan interim itu," sarannya.

Panduan dalam mendesain kebijakan domestik pajak ekonomi digital: pertama, selaras dengan pedoman internasional. Kedua, bersifat sementara. Ketiga, sesuai dengan targetnya. Keempat, tidak memberikan beban pajak berlebihan. Kelima, menggunakan threshold. Keenam, tidak menambah kerumitan dan biaya kepatuhan.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×