kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45898,78   -24,72   -2.68%
  • EMAS1.326.000 0,00%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Pemerintah tak hanya andalkan OECD mengejar pajak perusahaan digital raksasa


Minggu, 25 Maret 2018 / 14:05 WIB
Pemerintah tak hanya andalkan OECD mengejar pajak perusahaan digital raksasa
ILUSTRASI. Ilustrasi media sosial Facebook dan Twitter


Reporter: Ghina Ghaliya Quddus | Editor: Sanny Cicilia

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Dalam pertemuan G20 di Argentina, pajak untuk ekonomi digital dibahas. Negara-negara G20 dalam hal ini ingin agar Inclusive Framework on base erosion and profit shifting (BEPS) - OECD menyampaikan rekomendasi kebijakan yang akan dilakukan secara bersama.

Pada tanggal 16 Maret 2018 lalu, OECD/G20 Inclusive Framework telah menerbitkan laporan interim bertajuk Tax Challenges Arising from Digitalisation. Laporan ini menjadi cikal bakal Final Report pada 2020 yang bakal menghasilkan konsensus global sebagai "aturan main" final atas pemajakan ekonomi digital.

Namun demikian, dari isi laporan interim itu, prospek konsensus global malah semakin tidak jelas. Padahal, Indonesia ingin memperjuangkan posisi agar dapat memperoleh hak pajak yang adil dari perusahaan perusahaan digital ini.

Kepala Pusat Kebijakan Pendapatan Negara Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan (Kemkeu) Rofyanto Kurniawan menyebut, meskipun belum ada konsensus global, Indonesia bisa mengambil kebijakan sendiri untuk pemajakan ekonomi digital.

Ia menjelaskan, beberapa negara telah melakukan pendekatan dengan provider di luar yurisdiksi. “Beberapa negara memperluas definisi Badan Usaha Tetap (BUT). Misalnya Italia, menerapkan definisi BUT tidak hanya melihat lokasi perusahaan, tetapi juga transaksi yang dilakukan,” kata Rofyanto kepada KONTAN, Sabtu (24/3).

“Di sana, jika suatu usaha jasa di luar yurisdiksi melakukan transaksi on line lebih dari 3.000 kali dengan perorangan atau badan usaha domestik akan dikenakan levy tax,” lanjutnya.

Menurut Rofyanto, beberapa perusahaan telah merespon positif kebijakan sendiri untuk pemajakan ekonomi digital yang dilakukan oleh beberapa negara itu. Dengan demikian, untuk Indonesia sendiri, bukan tidak mungkin tidak ada jalan tengahnya.

“Dalam penerapan pajak e-commerce, yang paling penting komunikasi dan pendekatan karena providernya di luar yurisdiksi kita,” ujarnya.

Kepala BKF Suahasil Nazara juga mengatakan, dalam hal ini, Indonesia tidak berada dalam posisi (stance) menunggu Inclusive Framework merekomendasikan kebijakan, tetapi Indonesia juga belum memilih jalan keluar sendiri dengan membuat aturan pajak baru mengenai ekonomi digital lintas yurisdiksi atau negara.

“Indonesia aktif di forum global untuk memberi warna konsensusnya. Jadi tidak cuma menunggu,” kata Suahasil kepada KONTAN.??Managing Partner Danny Darussalam Tax Center (DDTC) Darussalam mengatakan, jika membaca seluruh dokumen laporan interim, isinya yang tidak banyak memantik diskusi dan mengerucut pada satu kerangka menjelaskan satu hal: prospek konsensus global semakin tidak jelas.

“Kaitan interim report dengan final report justru ‘kering’ dan kurang berbobot,” kata Darussalam.

Namun demikian, laporan interim itu ternyata menyediakan suatu panduan dalam mendesain kebijakan domestik yang bersifat sementara. Panduan tersebut, menurut dia, secara tidak langsung mengamini aksi unilateral yang dilakukan beberapa negara.

“Menunggu suatu konsensus yang belum ‘jelas’ prospeknya justru bisa merugikan. Namun, langkah yang diambil Indonesia harus mengikuti panduan laporan interim itu,” ujarnya.

Pertama, selaras dengan pedoman internasional,. Kedua, bersifat sementara. Ketiga, sesuai dengan targetnya. Keempat, tidak memberikan beban pajak yang berlebihan. Kelima, menggunakan threshold. Keenam, tidak menambah kerumitan dan biaya kepatuhan.


 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
EVolution Seminar Supply Chain Management on Sales and Operations Planning (S&OP)

[X]
×