Reporter: Noverius Laoli | Editor: Sanny Cicilia
JAKARTA. PT Bank Negara Indonesia (BNI) Persero Tbk masih harus bersabar mengeksekusi agunan kredit macet senilai Rp 65 miliar kepada sejumlah nasabahnya. Sengketa ini tengah memasuki sidang perdana, Selasa (3/6).
Pasalnya, tujuh distributor aspal melayangkan gugatan perlawanan atas permohonan eksekusi agunan BNI tersebut. Gugatan itu didaftarkan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada 6 Mei 2014 dengan nomor pendaftaran 210.
Tujuh distributor aspal itu adalah PT Aspalt Sakti Raya, PT Lamindo Sakti Trading Company, PT Medan Aspalindo Utama, PT Bumi Aspalindo Aceh, PT Karya Aspalindo Cirebon, PT Kilang Apalindo Sumatera, dan PT Sarana Aspalindo Padang. Dalam gugatannya, mereka menolak upaya BNI selaku kreditur mengeksekusi agunan yang dijaminkan saat mengajukan kredit.
Kuasa hukum para penggugat, G.Nyoman T. Rae berdalih, kliennya merupakan badan usaha berbentuk PT yang berdiri selama 20 tahun. Karena itu, kliennya adalah debitur yang taat melunasi pinjaman.
Dia berkisah, ketujuh kliennya itu mengajukan pinjaman ke BNI dengan total Rp 28,4 miliar. Pinjaman diajukan melalui perjanjian kredit dengan BNI antara tahun 1994-1997.
Untuk jaminan, ketujuh anak usaha PT Lamindo Sakti itu menyerahkan sebuah bangunan di Kelurahan Gunung Sahari Jakarta Pusat dengan nama pemegang hak Srie Rahayu.
Pada 1998 terjadi krisis ekonomi, yang berdampak negatif bagi usaha termohon. Akibatnya, termohon tidak mampu meneruskan bayar cicilan pinjaman ke BNI. Toh, di tengah krisis, kata Nyoman, kliennya masih sempat membayar bunga pinjaman Rp 22,7 miliar.
Tapi, karena tidak mampu meneruskan cicilan pinjaman, kini termohon harus kembali menanggung beban bunga Rp 36,6 miliar. Kini, BNI menghitung utang para termohon eksekusi sekitar Rp 65 miliar. "Klien kami gagal memenuhi kewajiban bukan itikad buruk, tapi karena keadaan," ujar Nyoman, Rabu (4/6).
Untuk itu, Nyoman meminta pengadilan menunda atau membatalkan permohonan eksekusi BNI dan menyatakan kliennya punya itikad baik.
Kuasa hukum BNI Caesar Aidil Fitri mengatakan, pihak terlawan memiliki itikad tidak baik dalam melunasi utang-utangnya. Ia bilang, sudah ada waktu selama 16 tahun pasca krisis tahun 1998 untuk membayar tagihan. "Kalau memiliki itikad baik, pasti mereka mencari jalan keluar atau menjual asetnya untuk melunasi utang," ujarnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News