kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.499.000   -40.000   -2,60%
  • USD/IDR 15.935   -60,00   -0,38%
  • IDX 7.246   -68,22   -0,93%
  • KOMPAS100 1.110   -11,46   -1,02%
  • LQ45 880   -11,76   -1,32%
  • ISSI 222   -0,92   -0,41%
  • IDX30 452   -6,77   -1,48%
  • IDXHIDIV20 545   -7,80   -1,41%
  • IDX80 127   -1,32   -1,03%
  • IDXV30 136   -1,06   -0,77%
  • IDXQ30 150   -2,29   -1,50%

Mulai berpijak pada zaman beras kemasan


Kamis, 04 Juni 2015 / 10:10 WIB
Mulai berpijak pada zaman beras kemasan
Benjie Yap, yang akan melanjutkan kepemimpinan Ira Noviarti selaku Presiden Direktur Unilever Indonesia (UNVR)


Reporter: Andri Indradie, Dadan M. Ramdan, J. Ani Kristanti, Marantina | Editor: Tri Adi

Di tengah rumor soal beras sintesis, seorang teman memberi saran lewat media sosial untuk memilih beras kemasan dengan merek jelas. Alasannya  masuk akal. Produsen yang baik tidak akan mempertaruhkan puluhan tahun keringat dan darah saat merintis brand produknya untuk keuntungan sesaat. Itu akan menghancurkan reputasinya.  

Boleh jadi, saran itu tepat untuk menghadapi situasi ini. Di lain pihak, sebagian orang memilih beras bermerek lantaran kualitas produk beras kemasan ini lebih baik. Bentuk dan ukuran bulir berasnya utuh, warnanya putih, rasanya pulen dan kelebihan lainnya.

Pilihan ukuran kemasan, mulai 1 kilogram (kg), 2 kg dan 5 kg, juga praktis untuk memenuhi kebutuhan rumahtangga. “Dengan ukuran kecil, memungkinkan kami mendapatkan stok baru,” kata Yuliana, seorang konsumen beras kemasan.  

Beberapa tahun belakangan ini, beras dalam kemasan makin sering terlihat. Bukan saja di ritel modern, beras kemasan juga dijajakan oleh para pedagang beras eceran yang terdapat di pasar atau toko-toko beras di pinggir jalan.

Permintaan beras kemasan terus meningkat seiring pendapatan masyarakat yang lebih baik. “Bisnis beras kemasan semakin berkembang seiring preferensi konsumen yang semakin menuntut hidup sehat melalui beras berkualitas,” terang Djoko Retnadi, Plt Direktur Utama RNI, BUMN yang memasok beras kemasan.

Tak jauh berbeda, Direktur Keuangan PT Tiga Pilar Sejahtera Tbk (TPS) Sjambiri Lioe juga punya pendapat yang sama. Dengan selisih harga yang tak terpaut jauh, konsumen bisa mendapat jaminan beras sehat, hasil dari perusahan besar yang sudah menerapkan standar mutu, seperti SNI, ISO dan standar-standar lainnya. “Kalau ada apa-apa dengan berasnya, produsennya bisa ditelusuri dengan gampang,” cetus dia.

Peralihan pasar dari beras curah ke beras kemasan yang relatif baru di Indonesia ini menjadi hal yang wajar ketika daya beli masyarakat makin meningkat. Bahkan, Sjambiri melihat, kondisi ini sama halnya dengan pasar minyak goreng sekitar 10 tahun–15 tahun silam. Pada zaman itu, orang beli minyak goreng di pasar basah, dari drum-drum besar. “Baru ketika Sinar Mas, Wilmar, dan lainnya membuat minyak goreng kemasan, konsumen juga mulai beralih,” terang dia.

Selain produk lebih sehat, banyak konsumen beralih lantaran selisih harga yang tidak berbeda jauh. Artinya, masih dalam jangkauan daya beli. “Saya hitung, beda harganya hanya Rp 2.000-an per hari untuk konsumsi satu orang. Mereka sudah dapat jaminan beras sehat,” ungkap dia.


Pemain baru

Ada gula ada semut. Konsumsi beras kemasan yang terus meningkat akhirnya mengundang banyak pemain ikut meramaikan bisnis beras kemasan. Nellys Soediki, Ketua Persatuan Penggilingan Padi dan Pengusaha Beras Indonesia (Perpadi), mengatakan, saat ini, dalam sehari permintaan beras premium mencapai 30 ton–40 ton. “Padahal, dua tahun lalu, hanya 25 ton,” kata distributor beras skala besar di Pasar Induk Beras Cipinang ini.

Pemain baru yang masuk ke pasar beras premium adalah Food Station. Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) Pemprov DKI Jakarta ini mulai memasarkan beras kemasan dengan bendera FS akhir Maret lalu. Jenis beras yang dijual adalah pandan wangi, setra ramos dan rojololele. Pasokan beras diperoleh dari sejumlah sentra produsen beras, seperti Cianjur dan Karawang (Jawa Barat), serta Solo (Jawa Tengah).

Selain itu, PT Rajawali Nusantara Indonesia memutuskan terjun ke bisnis beras kemasan dengan merek Raja Beras. Lokasi produksinya di Sumatera Selatan, Jawa Barat, dan Jawa Timur. RNI membangun empat penggilingan padi di tiga daerah itu dengan investasi sebesar Rp 350 miliar. Total kapasitas produksinya mencapai 450.000 ton per tahun.

Sementara pemain lama terus berekspansi. TPS misalnya, siap menambah tiga pabrik beras di Sulawesi tahun ini, dengan investasi total Rp 682 miliar. Tiga pabrik lagi bakal didirikan tahun depan yang salah satunya di Jawa Timur.

Ekpansi terus dilakukan karena mereka akan menggenjot pangsa pasarnya untuk mengimbangi pertumbuhan permintaan beras kemasan. “Pada 2020 nanti, kami ingin punya pangsa pasar sekitar 5%,” kata Sjambiri. Itu artinya, angka produksi 5 tahun ke depan akan mencapai 2 juta ton per tahun. Saat ini, produksi mereka 810.000 ton per tahun.

Beras kemasan TPS ini dibagi menjadi lima jenis, berdasarkan segmen pasar masing-masing, yakni modern trade, general trade, other managed brand, private label dan economic GT. “Itu istilah penamaan saja yang menggambarkan diversifikasi produk dan menggambarkan target pasar kami,” ujar Sjambiri lagi.


Diferensiasi produk

Pasokan beras kemasan umumnya diperoleh dari kerjasama petani. Tak hanya dalam proses jual beli, kerjasama dimulai sejak dari penanaman. Maklum, ada sederet syarat dan ketentuan yang wajib dipenuhi oleh produsen beras premium.  Salah satunya, pelaku usaha wajib mencantumkan informasi atau keterangan pada kemasan beras, yang meliputi nama produk, jenis atau varietas beras, berat bersih, nama dan alamat perusahaan yang melakukan pengemasan serta merek.

Salah satu sumber beras RNI  merupakan hasil kerjasama petani yang berada di Kabupaten Oku Timur, Sumatera Selatan. Djoko bilang, dengan kerjasama ini produktivitas petani meningkat menjadi 18 ton per hektare (ha) setahun. “Kami menerapkan prinsip tepat benih, tepat air, tepat pupuk, tepat pengendalian hama,” jelas dia.

Untuk mendongkrak produksi beras itu, TPS akan terus membina petani yang menjadi mitra. Selain menentukan jenis-jenis padi, TPS juga mendampingi petani untuk mengenal teknik dalam penanaman sampai panen sehingga mampu meningkatkan tingkat produksi. “Selama satu setengah tahun ini, ada peningkatan tingkat produksi petani yang tadinya 5,1 ton per (ha), sekarang menjadi 7,2 ton/ha–7,3 ton/ha,” terang Sjambiri.

Para pemain beras premium tak main-main lantaran prospek bisnis ini masih cerah. Untuk menyiasati persaingan ketat di masa mendatang, mereka juga sudah menyiapkan strategi khusus. Ambil contoh diferensiasi produk. Djoko bilang, sepanjang produk punya diferensiasi maka masih ada saja ceruk pasar yang bisa dijajaki. “Beras antidiabet yang harganya Rp 25.000 per kilo laris manis,” ujar dia.

Diversifikasi juga menjadi senjata TPS memenangi persaingan. “Karena tak semua orang punya selera yang sama,” kata Sjambiri. Oleh karena itu, TPS membagi produknya, seperti beras yang menghasilkan nasi pulen dan nasi pera.     


Isu beras sintesis kerek permintaan?

Boleh jadi, isu beras sintesis menjadi berkah bagi produsen beras kemasan. Beberapa pelaku usaha beras memprediksi, bakal ada pergeseran pasar dari beras curah ke beras kemasan.

Namun, Djoko Retnadi, Plt Direktur Utama RNI, menampik anggapan bahwa isu beras sintesis ini mendongkrak penjualan beras kemasan. “Tak ada dampak berarti pada penjualan beras kemasan RNI,” kata Djoko.

Direktur Keuangan PT Tiga Pilar Sejahtera Tbk Sjambiri Lioe mengungkapkan hal serupa. “Belum bisa disimpulkan seperti ini, karena isu ini cuma berjalan beberapa hari saja,” kata dia.

Sementara, Tutum Rahanta, Wakil Ketua Umum Aprindo, menuturkan, isu beras sintesis ini hanya bersifat lokal sehingga tak bisa terlihat dampak peningkatan penjualan beras premium kemasan yang terjadi di ritel modern.                  

Laporan Utama
Mingguan Kontan No. 36-XIX, 2015

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Kiat Cepat Baca Laporan Keuangan Untuk Penentuan Strategi dan Penetapan Target KPI Banking and Credit Analysis

[X]
×