kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.520.000   12.000   0,80%
  • USD/IDR 15.880   50,00   0,31%
  • IDX 7.196   54,65   0,77%
  • KOMPAS100 1.104   9,46   0,86%
  • LQ45 877   10,80   1,25%
  • ISSI 221   0,74   0,34%
  • IDX30 449   6,10   1,38%
  • IDXHIDIV20 540   5,33   1,00%
  • IDX80 127   1,26   1,00%
  • IDXV30 135   0,57   0,43%
  • IDXQ30 149   1,56   1,06%

Mimpi pertanian yang salah sejak Era Soeharto


Kamis, 09 Oktober 2014 / 07:46 WIB
Mimpi pertanian yang salah sejak Era Soeharto
ILUSTRASI. Asap terlihat membubung dari gedung-gedung selama bentrokan antara Pasukan Dukungan Cepat paramiliter dan tentara di Khartoum Utara, Sudan. 22 April 2023. REUTERS/ Mohamed Nureldin Abdallah


Sumber: Kompas.com | Editor: Sanny Cicilia

JAKARTA. Nilai impor komoditi pertanian selama 10 tahun terakhir yang terus meningkat menyimpan fakta bahwa produktivitas pertanian nasional belum mampu memenuhi kebutuhan konsumsi lokal akan produk pertanian. 

Fakta itu menurut pengamat pertanian Didin S Damanhuri. sangatlah menohok bangsa ini yang terkenal dengan kekayaan alam yang seharusnya mampu menjadikan Indonesia sebagai negara yang berbasis pertanian. Sayangnya menurut dia, sejak tahun 1970-an, Indonesia memiliki mimpi yang salah. 

"Kesalahannya dimana? Ini karena Indonesia memiliki mimpi yang salah sejak masa Pak Harto," ujar Didin saat menjadi pembicara dalam dialog Mewujudkan Kedaulatan Pangan Melalui Kebijakan Impor dan Subsidi yang Tepat di Jakarta, Rabu (8/10). 

Dia menjelaskan, kesalahan mimpi Indonesia sejak masa Presiden Soeharto adalah mimpi Indonesia menjadi negara industri yang ditopang oleh sektor pertanian. Padahal menurut dia, seharusnya mimpi Indonesia adalah menjadi negara modern yang berbasis pertanian. 

Mimpi itu menurut Didin malah membebani sektor pertanian nasional sampai saat ini. Alhasil, beban berat itu malah membuat sektor pertanian terkena dampak yang besar dan tidak mampu keluar dari beban itu. 

Dia mengakui, memang tahun 1984 Indonesia mampu mencapai swasembada pangan. Namun dia menilai, swasembada hanya berdampak sementara dan lebih ditujukan untuk stabilitasi harga kebutuhan pokok agar iklim investasi terlihat baik di mata investor asing. 

Setelah reformasi tiba tahun 1998, sebenarnya harapan membangunkan Indonesia dari mimpi yang salah itu kembali mencuat. Namun, sesal dia, bukannya bangun, Indonesia malah membuat mimpi yang salah menjadi lebih buruk. Pasalnya, kata dia kebijakan-kebijakan pertanian terus terkucilkan akibat liberalisasi pertanian yang lebih membabi buta. Misalnya, lahan-lahan produktif berubah menjadi pabrik-pabrik dan sektor perkebunan dikuasai investor asing. 

Bahkan, revitalisasi pertanian tahun 2004 dimasa Pemerintahan SBY dikebiri tiga tahun setelah itu dengan hanya menjadikan program itu menjadi program kecil dan gema revitalisasi menjadi redup. 

Faktanya saat ini, impor pangan Indonesia tahun 2013 mencapai US$ 14,9 miliar atau naik empat kali lipat dari nilai ekspor tahun 2003 senilai US$ 3,34 miliar. Di sisi lain, luas lahan pertanian yang menjadi dasar sektor pertanian terus menyusut dari 31,2 juta hektar tahun 2003 menjadi 26 juta hektar pada tahun 2013. 

Tak sampai disitu, dalam sensus pertanian 2013 yang dilakukan Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah pekerja disektor pertanian pun menurun 5 juta orang. "Pak Harto menjauhkan Indonesia dari pertanian. Setelah reformasi, kita semakin meninggalkan pertanian," kata dia. 

Sementara itu, Ketua Serikat Petani Indonesia Henry saragih mengatakan, saat ini Indonesia harus bangun dari mimpi itu dan mengembalikan mimpi Indonesia menjadi negara modern yang berbasis pertanian. Mengubah mimpi itu menurut dia harus dilakukan oleh pemerintahan Jokowi-JK nanti dengan membuat kebijakan pertanian menjadi mainstream kebijakan di setiap kementerian. 

"Mau bagun pertanian yang pertama masalah tanah, tanah dimiliki Kementerian Kehutanan, kehutahan dan BPN harus menyediakan lahan, nah setelah pasca panen masuk Kementerian Perindustrian untuk mengolah industri pangan, lalu Kementerian ESDM pasok gas kepada industri itu. Jadi ini saling menopang," kata Henry. (Yoga Sukmana)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Working with GenAI : Promising Use Cases HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective

[X]
×