kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.541.000   0   0,00%
  • USD/IDR 15.880   50,00   0,31%
  • IDX 7.196   54,65   0,77%
  • KOMPAS100 1.104   9,46   0,86%
  • LQ45 877   10,80   1,25%
  • ISSI 221   0,74   0,34%
  • IDX30 449   6,10   1,38%
  • IDXHIDIV20 540   5,33   1,00%
  • IDX80 127   1,26   1,00%
  • IDXV30 135   0,57   0,43%
  • IDXQ30 149   1,56   1,06%

Menkeu akan tekan defisit anggaran jadi 3% dari PDB pada 2023, begini caranya


Rabu, 20 Januari 2021 / 19:44 WIB
Menkeu akan tekan defisit anggaran jadi 3% dari PDB pada 2023, begini caranya
ILUSTRASI. Menkeu Sri Mulyani saat wawancara virtual bersama KONTAN, Jumat (15/1/2021).


Reporter: Yusuf Imam Santoso | Editor: Herlina Kartika Dewi

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Dampak pandemi virus corona mengharuskan pemerintah untuk memperlebar defisit anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) atau keluar dari yang sebelumnya diamanatkan dalam Undang-Undang tentang Keuangan Negara, maksimal sebesar 3% terhadap produk domestik bruto (PDB).

Kebijakan tersebut diambil lantaran kondisi penerimaan negara yang menyusut akibat kondisi ekonomi yang loyo karena pandemi. Namun, belanja negara justru membengkak karena pemerintah perlu memberikan dorongan belanja untuk penangan kesehatan, sosial, ekonomi dan keuangan. 

Makanya tahun lalu pemerintah menerbitkan Undang-Undang (UU) Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) dan/atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan.

Melalui UU 2/2020 pemerintah menargetkan defisit APBN 2020 sebesar 6,34% terhadap PDB. Kemudian pada 2021 akan diupayakan 5,7% dari PDB. Selanjutnya, defisit diproyeksikan terus menyusut hingga 2023 berada di posisi 3% terhadap PDB.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan, defisit APBN tentu akan banyak dipengaruhi oleh situasi ekonomi ke depan. Tahun lalu misalnya, realisasi defisit APBN 2020 hanya 6,09% dari PDB atau lebih rendah Rp 82,9 triliun dari outlook defisit akhir tahun sebagaimana dalam Peraturan Presiden (Perpres) 72 Tahun 2020 terkait postur APBN 2020.

Baca Juga: Demi biayai vaksin corona, ini daftar belanja yang mesti dihemat K/L

Menkeu mengatakan, pada tahun 2020 lalu ekonomi dalam negeri terhantam sangat dalam. Maka pemerintah bersama dengan Bank Indonesia (BI) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) berusaha menopang dari sisi stimulus fiskal, moneter, dan sektor keuangan untuk diberikan relaksasi. 

“Kita keroyokan sama-sama BI dan OJK untuk bener-bener memberikan bantalan dan ruangan nafas. Di bawahnya dikasih bantal memalui fiskal, BI memberikan banyak likuiditas suku bunga diturunkan, aturan perbankan direlaksasi. Ini semua kombinasi bantalan stimulus dan ruang bernafas supaya masyarakat dan dunia usaha yang sedang megap-megap bisa ditolong,” kata Menkeu dalam wawancara khusus dengan Redaksi Kontan.co.id, Jumat (15/1).

Kata Menkeu, outlook defisit APBN 2021 dirancang dengan belanja Rp 2.750 triliun, naik tipis dari pagu tahun lalu Rp 2.739,2 triliun. Alokasi belanja negara tahun ini tetap diarahkan untuk mendukung upaya penangan kesehatan termasuk vaksinasi, hingga pemulihan ekonomi. 

Menkeu menegaskan, pemerintah tidak bisa langsung menarik bantalan fiskal secara menyeluruh, sebab butuh waktu agar kondisi ekonomi masyarakat kembali ke posisi normal seperti sebelum pandemi. 

Dus, defisit APBN pada 2022 tidak langsung turun ke 3%.

Namun, porsi bantalan sosial akan diperkecil seiring dengan pemulihan ekonomi ke depan yang diproyeksi lebih baik dari 2020. 

“Tentu masih ada stimulus namun konsolidasi fiskal harus sudah mulai dilakukan. Makin lama rakyat sudah mulai kerja lagi, UMKM jalan, dan daya tarik memulihkan ekonomi diperkecil karena mereka sudah bisa jalan sendiri dan jaring pengamannya sudah mulai ditipiskan,” ujar Menkeu.

Kendati demikian, Sri Mulyani bilang besaran defisit bukan berarti menentukan daya tahan ekonomi suatu negara. 

Misalnya, defisit di Amerika Serikat (AS) tahun lalu dipatok sebesar 18%, Jerman 11%, dan India di atas 10%. Namun, pertumbuhan ekonomi negera-negara tersebut tidak lebih baik dari Indonesia setidaknya pada kuartal II-2020 dan kuartal III-2020.

Proyesi Menkeu, ekonomi di kuartal I-2021 akan lebih baik dari kuartal IV-2020, tetapi lebih rendah dari realisasi kuartal I-2020 yang mencapai 2,94% terhadap PDB. Ini lantaran dampak aktivitas ekonomi yang masih sepi karena pembatasan sosial guna mengurangi penyebaran virus corona.

Barulah pada kuartal II-2021 hingga kuartal IV-2021 ekonomi dalam negeri diperkirakan rebound sejalan dengan upaya vaksinasi dan pengendalian kesehatan. 

Sehingga, harapannya mobilitas masyarakat dan kebiatan ekonomi lainnya bisa tumbuh. 

Baca Juga: Realisasi defisit APBN 2020 capai 6,09% dari PDB, apa kata Kepala BKF?

“Normalisasi penyusunan sesuai UU Keuangan Negara baru akan terjadi di 2023. Kalau 2021 recovery-nya lebih kuat yang berarti defisit 2022 mengikuti situasi. Kalau lebih rendah ya kita musti adjust. Yang masih dilakukan masih dalam dinamika downside dan upside,” kata Menkeu.

Sri Mulyani memastikan defisit APBN tidak akan lebih dari outlokk, tapi ada kemungkinan lebih rendah. 

“Tapi kalau mengecilnya lebih cepat atau lebih landai itu akan sangat tergantung dari yang disebut pemulihan ekonomi non government seperti investasi, ekspor dan konsumsi yang akan menunjukkan seberapa landai atau curam konsolidasi fiskal kita,” ujar Menkeu. 

Selain itu, pemulihan ekonomi diharapkan dapat meningkatkan penerimaan negara. Meskipun pemerintah tetap memberikan stimulus perpajakan untuk menolong wajib pajak. 

Menkeu mengatakan pihaknya akan tetap berupaya meningkatkan tax ratio dengan upaya ekstensifikasi dan intensifikasi basis pajak, tanpa menekan wajib pajak (WP) badan maupun WP orang pribadi. 

Selanjutnya: Tata Kelola Defisit Anggaran

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Working with GenAI : Promising Use Cases HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective

[X]
×