kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45920,31   -15,20   -1.62%
  • EMAS1.345.000 0,75%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Menjaga tradisi berladang Sungai Utik


Jumat, 07 Oktober 2016 / 14:43 WIB
Menjaga tradisi berladang Sungai Utik


Reporter: Dadan M. Ramdan | Editor: Dadan M. Ramdan

PUTUSIBAU. Rumah panjang atau orang setempat menyebutnya ruma panjae ini membentang sepanjang 200 meter dan lebar 40 meter dengan 28 pintu. Sekitar 70 keluarga hidup seatap dalam rumah tersebut. Itulah rumah adat Dayak Iban Sungai Utik, Desa Batu Lintang, Kecamatan Embaloh Hulu, Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat. Rumah raksasa ini dibangun sekitar 1975-an dan telah ditetapkan sebagai bangunan cagar budaya.

Untuk mencapai rumah betang ini butuh perjalanan panjang. Kalau menggunakan jalur darat, perjalanan dari Pontianak, harus ditempuh selama 24 jam atau sejauh 647 kilometer. Waktu tempuh bisa dipersingkat dengan naik pesawat terbang dari Bandara Supadio Pontianak menuju Putusibau. Dari Putusibau, perjalanan dilanjutkan dengan bus atau kendaraan pribadi sekitar dua jam.

Jumat (30/9) lalu, KONTAN bersama sejumlah media nasional dan lokal menyambangi warga Sungai Utik untuk melihat secara langsung tradisi berladang mereka. Rombongan disambut hangat dan meriah dengan upacara adat. Namun dibalik damainya kehidupan bersama masyarakat adat Dayak Iban, mereka mulai dihinggapi rasa cemas bahkan ketakutan.

Buntut isu kebakaran hebat tahun lalu dan berlanjut tahun ini, aktivitas berladang mereka diawasi aparat. Mereka kerap dituding sebagai pembakar hutan. Meski dalam ancaman penangkapan oleh aparat, warga secara sembunyi-sembunyi membakar ladang karena tradisi bercocok tanam ini tak bisa ditinggalkan begitu saja. Bahkan pada Agustus lalu, empat warga Sungai Utik yang ditangkap aparat karena membakar lahan.

Alasannya, mereka  dianggap melanggar maklumat bersama yang ditandatangani enam pejabat Kapuas Hulu yang menginginkan tak ada pembakaran lahan. “Kami memang sengaja membakar ladang untuk tanam padi. Kalau tidak dibakar, ladang tak bisa ditanami,” aku Amirudin, warga Sungai Utik, yang sempat ditangkap polisi.

Bagi Abas, biasa disapa, berladang menjadi matapencaharian utama. Dilarang membakar sama halnya dengan mati, karena selama ini sangat bergantung pada hasil berladang. “Kami enggak mau berhadapan dengan aparat. Jadi tolong dengarkan, berladang ini untuk bertahan hidup,” pintanya. Pengalaman serupa dialami Rengga, warga Sungai Utik lainnya. Meski hanya sebatas saksi kasus kebakaran lahan, berurusan dengan polisi membuatnya ketar-ketir apalagi sampai dipidanakan. Rengga bilang, masyarakat tidak membakar hutan tapi lahan yang dulunya  bekas ladang. “Kami bakar lahan tidak luas,” kata Rengga.

Sejatinya ancaman kriminalisasi kerap terjadi terhadap masyarakat adat yang melakukan kegiatan pembukaan lahan dengan pola membakar. Aparatmenangkap masyarakat dengan dalih mengikuti Instruksi Presiden Joko Widodo yang menginginkan penindakan tegas terhadap pembakar hutan dan lahan baik administrasi, pidana, maupun perdata.

Padahal dalam pasal 69 ayat 2 Undang Undang No. 32/2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan, masyarakat adat dibolehkan membuka lahan dengan cara membakar dengan memperhatikan kearifan lokal. Jaminan ini diperkuat dengan Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 10/2010, yang mengatur masyarakat adat bisa membuka lahan maksimal 2 ha per kepala keluarga (KK).

Atas dasar itu,  Ketua Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Kapuas Hulu Dominikus Uyub menolak tegas maklumat bersama pejabat Kapuas Hulu yang melarang segala aktivitas pembakaran lahan. “Untuk masyarakat adat harus ada pengecualiaan karena hidup dari berladang,” tandasnya. Uyub menyebutkan, pemerintah pusat harus segera menyelesaikan tuntas masalah ini. Pasalnya di tingkat daerah terjadi kebuntuan alias tidak menemukan solusi. “Jadi hanya Presiden yang bisa mengambil kebijakan soal hak konstitusi masyarakat adat,” pintanya.

Kepala Desa Batu Lintang Raymundus Remang menyatakan, masyarakat adat tidak bisa langsung dilarang begitu saja membakar ladang. Untuk bisa beralih ke sawah perlu waktu dan infrastruktur pendukung. Soalnya bidang-bidang sawah yang sudah dicetak pemerintah tidak bisa ditanami padi. Selain tidak ada saluran irigasinya, sifat tanahnya berbeda dengan sawah-sawah yang ada di Jawa atau Sumatra. Sehingga perlu pembelajaran dalam teknik bersawah. Di samping itu, pemerintah tidak hanya menyosialisasikan larangan membakar tapi harus menyampaikan solusinya juga. “Kami mau menanam padi di sawah tapi berladang jangan dilarang karena tradisi budaya yang harus dijaga,” ujarnya.

Dayak Iban Sungai Utik memiliki 40 jenis padi yang ditanam. Yang paling tua adalah padi sangking dan pagi pon. Dua jenis padi ini biasanya dipakai untuk acara sumpah ketika ada masalah. Padi yang pertama kali ditanam adalah padi pulut, yaitu padi ketan sebagai pembuka jalan bagi padi yang lainnya. Alhasil, berladang tidak sekadar menjaga ketahanan pangan, tapi warisan budaya.

Teknik berladang
Merujuk data AMAN, total luasan areal hutan adat Iban di Sungai Utik mencapai 9.452,5 ha. Dari total jumlah luasan itu, sekitar 6.000 ha di antaranya merupakan kawasan lindung. Selebihnya adalah hutan kelola masyarakat adat. Rata-rata masing-masing KK mengolah satu atau dua bidang ladang dalam setahun yang luasannya kurang dari 2 ha.

Selama ini, berladang merupakan sumber penghasilan utama Dayak Iban Sungai Utik. Usaha-usaha pertanian ini menyangkut tanaman padi, jagung,  ketimum, karet, dan buah-buahan (lihat tabel). Sebagian kecil dari hasil beternak babi, ayam, dan memelihara ikan. Selain bertani, warga Sungai Utik membuat kerajinan tangan seperti kain tenun, tikar, gelang rotan, dan lainnya.

Komoditas padi yang diusahakan masyarakat menggunakan teknik umai atau ladang berpindah. Mereka membakar  lahan untuk ditanami padi. Setelah padi dipanen, lahan tersebut ditinggalkan dan membuka lahan lama untuk tanaman yang sama. “Ladang harus dibakar biar tanahnya tidak asam. Kalau tidak dibakar dulu padi sulit tumbuh karena tanahnya kurang subur,” papar Frorensius Balang, penghuni bilik nomor 11 rumah panjang.

Sebab itu, satu bidang ladang hanya bisa ditanami setahun sekali. Tujuannya, untuk mengembalikan kesuburan tanah sekaligus memulihkan vegetasi hutan. Baru pada beberapa tahun berikutnya, mereka kembali ke lahan semula. “Ladang bisa ditanami lagi setelah diistirahatkan empat bahkan sampai tujuh tahun,” jelas Balang.
Begitu terus-menerus, menjadi satu siklus yang bergulir berkesinambungan. Jadi meskipun setiap tahunnya lahan padi mereka berpindah-pindah, tetapi lahan semula tetap menjadi haknya dan akan ditanami kembali beberapa tahun kemudian.  

Memang, cara bertani masyarakat Sungai Utik masih dilakukan secara tradisional. Pengolahan lahan sangat bergantung dari kesuburan alami dari tanah yang menjadi lahan berladang. Hasil berladang ini digunakan untuk kebutuhan hidup sehari-hari. “Hasil berladang cukup untuk kebutuhan setahun bahkan bisa berlebih. Sekarang sering gagal panen karena banyak hama,” imbuh Balang.

Berladang sebagai praktik pertanian asli masyarakat Iban merupakan pekerjaan yang rumit dan sangat berat. Tidak hanya berpindah-pindah, banyak tahapan dan upacara adat yang harus dilakukan tidak sekadar membakar ladang. Bagi masyarakat adat Sungai Utik, Agustus adalah jadwal bakar lahan, setelah didahului masa penebasan pada Juni dan penebangan masuk Juli. Kala itu, seluruh masyarakat berkumpul dan berdoa meninjau lokasi pertanian yang akan dikerjakan pada musim tanam ini. Di lokasi tersebut mereka minta izin akan membuka lahan kembali untuk bercocok tanam.

Pekerjaan berladang diawali dengan menebas tanaman-tanaman hutan yang kecil-kecil dan membersihkannya, yang dilanjutkan dengan ngerantas, yakni membuat jalur batas antara lahan ladang dengan lahan tetangga. Menebang adalah pekerjaan berikutnya sehabis menebas. Menebang dilakukan terutama pada pohon-pohon berukuran besar.

Selanjutnya mengeringkan tebasan dan hasil tebangan, kemudian tahap berikutnya adalah nunu atau membakar hasil tebangan dan tebasan di lahan tersebut. Setelah semua terbakar, lahan dibersihkan atau di dalam istilah setempat disebut gebok dan kegiatan menugal (menanam padi) pun dimulai.Setelah benih ditanam, masyarakat tinggal menunggu sampai panen tiba, dengan tidak lupa melaksanakan upacara-upacara sesuai dengan masa pertumbuhan padi tersebut.

Dalam hal membakar, masyarakat Sungai Utik berpegang teguh pada nilai-nilai kearifan lokal. Mereka sangat taat pada aturan adat yang dikendalikan oleh  tuai atau kepala rumah panjang, yakni Bandi. Pria yang diyakini sakti berusia 90 tahun lebih ini dijuluki Apay Janggut. Meski terlihat sederhana, Apay Janggut sangat berwibawa dan disegani. Raut mukanya terlihat dingin dengan dada yang selalu terbuka. Motif tato khas Dayak Iban menghiasai tangan, dada, punggung, dan lehernya.  

Menurut Apay Janggut, sebelum membakar, dibuat terlebih dahulu sekat api di sekitar lahan. Sekat api ini bisa berupa selokan kecil yang dibasahi air. Adanya area pembatas ini agar api tidak meremmbet  ke mana-mana. “Api dinyalakan dari bagian sisi-sisi mengarah ke tengah dengan melihat arah angin,” jelasnya.

Warga juga menjaga sekat api itu dengan menyiapkan alat pemyemprot air yang terbuat dari bambu. Saat pembakaran, mereka melibatkan warga lain yang lahannya berbatasan dengan lahan yang dibakar. Ada sanksi adat jika api sampai merembet ke lahan milik orang lain. Selain denda, hukuman bagi yang melanggar hukum adat adalah memulihkan lahan yang rusak akibat terbakar.

Raymundus menambahkan, masyarakat adat tidak sembarangan dalam membakar ladang tapi ada tatacara dan ketentuan adat. Masyarakat adat telah melakukan praktek berladang sejak masa leluhur untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari secara subsistem. Pola berladang tradisional masyarakat ini sangat unik karena berfungsi untuk menjaga praktik gotong-royong, pengetahuan lokal, dan ritual adat yang sudah dilakukan secara turun-temurun.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×