kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.932.000   -10.000   -0,51%
  • USD/IDR 16.355   -190,00   -1,15%
  • IDX 6.869   82,03   1,21%
  • KOMPAS100 995   15,18   1,55%
  • LQ45 764   10,59   1,40%
  • ISSI 223   2,25   1,02%
  • IDX30 395   4,66   1,19%
  • IDXHIDIV20 461   4,56   1,00%
  • IDX80 112   1,50   1,36%
  • IDXV30 114   0,50   0,44%
  • IDXQ30 128   1,96   1,56%

Menghitung Dampak Perang Israel-Iran terhadap Beban Utang Indonesia


Selasa, 24 Juni 2025 / 19:10 WIB
Menghitung Dampak Perang Israel-Iran terhadap Beban Utang Indonesia
ILUSTRASI. Lanskap kota di jantung bisnis Jakarta dengan gedung-gedung bertingkatnya, Sabtu (26/4/2025). Menurut data Bank Indonesia, posisi utang luar negeri Indonesia pada Febuari 2025 tercatat sebesar US$ 427,2 miliar, naik 4,7% dibandingkan periode yang sama tahun 2024. Angka tersebut setara dengan 30,2% Produk Domestik Bruto Indonesia. (KONTAN/Cheppy A. Muchlis)


Reporter: Dendi Siswanto | Editor: Ignatia Maria Sri Sayekti

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kepala Ekonom Bank Permata Josua Pardede, menilai dampak perang Iran–Israel terhadap beban utang Indonesia pada 2025 masih berada dalam batas terkendali, meski risiko fiskal ke depan perlu dicermati. 

Menurutnya, tekanan utama datang dari gejolak pasar Surat Berharga Negara (SBN) serta dinamika subsidi energi dan nilai tukar rupiah yang rentan akibat konflik geopolitik.

Kendati begitu, Josua mengatakan, hingga 24 Juni 2025, beban utang pemerintah belum secara drastis tertekan. 

Ini berkat beberapa faktor mitigatif, termasuk posisi yield rata-rata SBN 10 tahun yang masih lebih rendah dari asumsi APBN.

Data menunjukkan, rata-rata yield SBN tenor 10 tahun sepanjang tahun berjalan tercatat 6,936%, masih di bawah asumsi APBN 2025 sebesar 7,00%. 

"Ini berarti bahwa, secara rerata, beban bunga utang yang dibayarkan pemerintah untuk penerbitan SBN (terutama di pasar perdana) masih di bawah asumsi, sehingga secara teknis tidak mendorong peningkatan beban bunga utang pemerintah," ujar Josua kepada Kontan.co.id, Selasa (24/6).

Namun, Josua mengingatkan bahwa tren pasar sekunder tetap relevan. Lonjakan yield SBN ke kisaran 6,72% pada pertengahan Juni mencerminkan naiknya premi risiko akibat perang dan depresiasi rupiah. 

Baca Juga: Defisit Anggaran Indonesia Hadapi Tantangan di Tengah Pembiayaan Utang yang Meningkat

Jika tren ini berlanjut, misalnya karena harga minyak melampaui US$ 100 per barel dan rupiah melemah ke atas Rp 16.500 per dolar AS, biaya penerbitan utang baru bisa meningkat signifikan.

Dengan alokasi subsidi energi Rp 203,4 triliun dan asumsi harga minyak US$ 82 per barel, kenaikan harga 10% saja bisa menambah defisit hingga 0,1% PDB. 

Jika harga minyak melonjak ke US$ 120 per barel, Josua memperkirakan defisit bisa mendekati 3%.

Dalam kondisi tersebut, pemerintah berisiko harus menambah penerbitan SBN untuk menutup celah fiskal.

"Bila ini terjadi, maka pemerintah mungkin perlu mempertimbangkan untuk menambah penerbitan utang (SBN) untuk menutup gap, sehingga beban bunga utang ikut meningkat," katanya.

Di sisi lain, pelemahan rupiah juga menambah tekanan, baik melalui beban utang valas maupun lonjakan subsidi BBM yang dihitung dalam rupiah. Hal ini dikarenakan biaya subsidi dihitung dalam rupiah atas minyak mentah yang dibeli dengan dolar.

Walaupun porsi utang valas di bawah 30%, fluktuasi kurs tetap berpengaruh terhadap total kewajiban negara.

Meski demikian, Josua menilai bahwa pemerintah saat ini masih memiliki ruang manuver. 

Baca Juga: Penarikan Utang Baru Pemerintah Melonjak, Capai Rp 349,3 Triliun Per Mei 2025

Per Mei 2025, pembiayaan utang telah mencapai 52,7% dari target, dengan Saldo Anggaran Lebih (SAL) sebesar Rp 303,8 triliun. Selain itu, penyerapan subsidi energi baru sekitar 15%, sehingga tersedia ruang realokasi anggaran.

Untuk menjaga stabilitas fiskal dan menghindari lonjakan beban bunga utang, Josua mengajukan beberapa rekomendasi.

Pertama, mempertahankan kestabilan pasar SBN dengan tetap mengkomunikasikan kredibilitas fiskal dan komitmen menjaga defisit di bawah 3%.

Kedua, penggunaan buffer fiskal (SAL) dan realisasi windfall dari komoditas ekspor lain (seperti batu bara dan CPO) untuk menjaga keseimbangan fiskal.

Ketiga, konsolidasi belanja, misalnya menunda belanja yang tidak mendesak untuk menghindari tambahan penerbitan utang di tengah yield tinggi.

Baca Juga: Utang Luar Negeri BUMN Menanjak, Sentuh Rp 715,3 Triliun per April 2025

Menanggapi situasi yang sama, Staf Bidang Ekonomi, Industri, dan Global Markets dari Bank Maybank Indonesia Myrdal Gunarto, menyampaikan pandangan yang senada namun lebih optimis. 

Menurutnya, selama konflik di Timur Tengah tidak melibatkan negara lain di luar Iran, Israel, dan Amerika Serikat, dampaknya terhadap pasar keuangan Indonesia akan tetap terbatas.

"Kita harapkan tidak melibatkan pihak lain lagi. Jadi, dampaknya bisa terbatas. Tentu ini juga mengakibatkan pengaruh utang kita juga masih relatif aman," kata Myrdal.

Myrdal juga menilai bahwa kondisi utang Indonesia saat ini masih sangat kondusif. Ia merujuk pada posisi rasio utang terhadap PDB (debt-to-GDP) dan utang luar negeri yang masih rendah, serta stabilnya yield obligasi global dan nilai tukar rupiah yang masih bertahan di bawah Rp 16.500 per dolar AS.

Baca Juga: Bank Dunia Soroti Beban Bunga Utang Indonesia Cukup Tinggi, Imbas Penerimaan Rendah

Selanjutnya: Musim Liburan, Gangguan Perjalanan Whoosh Akibat Layang-Layang Meningkat

Menarik Dibaca: Musim Liburan, Gangguan Perjalanan Whoosh Akibat Layang-Layang Meningkat

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
Owe-some! Mitigasi Risiko SP2DK dan Pemeriksaan Pajak

[X]
×