Reporter: Fahriyadi, Noverius Laoli | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie
JAKARTA. Banyak sudah kebijakan dan anggaran yang digelontorkan pemerintah untuk membenahi sektor pangan nasional. Namun, masalah pangan di Indonesia selalu berulang setiap tahun seperti tanpa solusi. Masalah ini pun diprediksi bakal terjadi lagi di 2017.
Sedikitnya, ada tiga masalah krusial yang menggerogoti sektor pangan nasional selama ini. Pertama, data pangan yang tidak akurat dan berbeda dengan kondisi di lapangan. Kedua, terlalu mudahnya pemerintah mengeluarkan izin impor sehingga ketergantungan terhadap impor semakin besar. Ketiga, ketidakmampuan pemerintah mengintervensi harga lantaran tidak memiliki pasokan ketika terjadi fluktuasi harga.
Ironisnya, ketiga masalah ini melanda komoditas pangan strategis yang dibutuhkan masyarakat, seperti padi, jagung, kedelai, daging sapi, gula, hingga hortikultura seperti cabai dan bawang merah. Pemetaan masalah dan upaya mencari solusi memang terus dilakukan pemerintah agar masalah klasik ini tidak terulang lagi atau minimal dapat dikurangi pada tahun depan.
Mengenai masalah data pangan, Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman berdalih: simpang siur data pangan yang kerap dipermasalahkan terjadi karena data yang terus berkembang di lapangan. "Alhasil, data yang ditetapkan sering berbeda karena perbedaan waktu dan tempat pengambilan," ujar Amran, beberapa waktu lalu.
Faktanya, data yang tak akurat ini memang menjadi titik lemah pemerintah dalam mengambil kebijakan. Hal ini terbukti terjadi di sepanjang tahun 2015, berdasar data yang dipegang, pemerintah yakin bahwa Indonesia surplus beras 9 juta ton. Namun, realita di lapangan terbalik; sehingga harus impor beras dari Vietnam dan Thailand sebanyak 1,5 juta ton.
Dampaknya pun meluas, karena beras impor datang di awal tahun ini, saat petani lokal mulai panen. Dan, harga pun jatuh. "Seharusnya pengelolaan data pangan dilakukan terpusat oleh Badan Pusat Statistik, sedangkan Kementerian Pertanian (Kemtan) hanya mengurusi cara meningkatkan produksi pangan di lapangan," ujar Khudori, pengamat pertanian.
Masalah berikutnya adalah soal impor. Sepanjang 2016 ini hanya beras yang tidak ada kebijakan impor. Tapi, perlu dicatat bahwa "keberhasilan Indonesia tak impor" itu karena meningkatnya cadangan beras setelah impor pada akhir tahun lalu itu. Adapun untuk komoditas lain, ada yang lebih, berkurang impornya, dan ada pula yang naik.
Hasil Sembiring, Direktur Jenderal Ta-naman Pangan Kemtan, menyebut impor jagung tahun ini bisa dikurangi secara drastis karena produksi mencapai 23,2 juta ton atau naik 4,2 juta ton dibandingkan dengan tahun 2015.
Makanya, tahun ini pemerintah membatasi impor jagung maksimal hanya 1 juta ton. Itu pun dilakukan oleh Perum Bulog. Namun, kebijakan ini justru menjadi bumerang lantaran produsen pakan ternak selaku importir jagung memprotes keras. Karena, kebijakan ini membuat harga jagung yang biasanya Rp 3.300 per kilogram (kg) menjadi Rp 7.000 per kg pada kuartal I−2016 sebelum Bulog membuka importasi di kuartal II−2016 untuk meredam harga.
Selain itu, kebijakan ini juga memicu kenaikan impor gandum. Pasalnya, harga jagung lokal yang tak stabil dan pasokan yang minim membuat produsen pakan ternak memilih untuk impor gandum sebagai bahan baku alternatif.
Bagaimana tahun depan? "Kami yakin produksi jagung lokal mampu mencukupi kebutuhan karena masih banyak panen terjadi tiap bulan meski tidak merata," ungkap Hasil.
Rencananya, tahun depan pemerintah akan menyetop secara penuh impor jagung untuk kebutuhan industri pakan. Pasalnya, Kemtan optimistis produksi jagung bisa menyamai atau mungkin melebihi produksi 23,2 juta ton tahun ini.
Sulitnya menekan impor
Bagaimana pula dengan komoditas lainnya? Tampaknya tantangan menghentikan impor makin berat. Untuk daging, misalnya, pemerintah telah resmi menjadikan Perum Bulog sebagai bandar daging, menyusul izin impor sebanyak 70.000 ton daging kerbau India pada Oktober 2016 lalu dan bakal kedaluwarsa Juni 2017.
Direktur Utama Perum Bulog Djarot Kusumayakti menjanjikan. pada akhir tahun ini izin impor ini akan terealisasi 48.000 ton, sedangkan 22.000 ton sisanya tahun depan. "Kami juga berencana ajukan tambahan impor 30.000 ton untuk kebutuhan puasa dan Lebaran," ungkapnya.
Teguh Boediyana, Ketua Perhimpunan Perternak Sapi dan Kerbau Indonesia (PPSKI), menilai impor daging sapi dan kerbau ini bakal hancurkan bisnis peternak lokal. Satu lagi komoditas yang sulit untuk dihentikan impornya tahun depan adalah gula.
Pada 2016 ini, untuk pertama kalinya dalam lima tahun terakhir pemerintah mengeluarkan izin impor gula mentah kepada pabrik gula milik negara (BUMN) sebanyak 381.000 ton untuk menutupi defisit produksi gula tahun ini yang hanya 2,3 juta ton, sedangkan kebutuhan tahun depan mencapai 2,7 juta ton.
Soemitro Samadikoen, Ketua Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI), memprediksi impor tersebut membuat produksi gula tahun depan bakal semakin melorot karena petani tebu akan semakin enggan menanam. "Apalagi, ditambah dengan kebijakan menetapkan harga acuan gula Rp 12.500 per kg membuat petani gula tak antusias," katanya.
Masalah lain di tahun 2017 yang juga bakal membuat pemerintah pusing adalah soal pengendalian harga pangan, terutama untuk cabai dan bawang merah.
Benny Kusbini, Ketua Dewan Hortikultura Indonesia, menyatakan bahwa produksi cabai dan bawang merah sangat bergantung pada keadaan cuaca. Menurutnya, selama pemerintah tidak menetapkan harga patokan petani (HPP) serta tak ada upaya melindungi petani dari gagal panen akibat cuaca, harga komoditas ini akan tetap berfluktuasi.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News