kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.539.000   -2.000   -0,13%
  • USD/IDR 15.869   11,00   0,07%
  • IDX 7.280   84,53   1,17%
  • KOMPAS100 1.120   15,61   1,41%
  • LQ45 891   13,65   1,56%
  • ISSI 223   2,02   0,92%
  • IDX30 455   6,79   1,51%
  • IDXHIDIV20 549   8,70   1,61%
  • IDX80 129   1,57   1,24%
  • IDXV30 136   1,63   1,21%
  • IDXQ30 152   2,49   1,67%

Masuk daftar positif investasi, ekonom: Prospek minol nasional masih kecil


Senin, 01 Maret 2021 / 21:28 WIB
Masuk daftar positif investasi, ekonom: Prospek minol nasional masih kecil
ILUSTRASI. Petugas menata minuman beralkohol di?Jakarta.


Reporter: Vendy Yhulia Susanto | Editor: Herlina Kartika Dewi

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Yusuf Rendy Manilet menilai, pemerintah seharusnya mempertimbangkan sejumlah aspek ketika akan memasukkan industri minuman beralkohol ke daftar positif investasi.

Seperti diketahui, pemerintah menetapkan industri minuman keras sebagai daftar positif investasi (DPI) terhitung sejak tahun ini. Hal ini tercantum dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 10 Tahun 2021 tentang Bidang Usaha Penanaman Modal. Beleid yang merupakan aturan turunan dari Undang-Undang (UU) Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja ini telah ditandatangai Presiden Joko Widodo dan mulai berlaku per tanggal 2 Februari 2021.

Yusuf mengatakan, setiap investasi yang masuk memang berpotensi untuk menciptakan atau menyerap tenaga kerja. Serta, juga berpotensi untuk menambah nilai tambah bagi perekonomian suatu wilayah atau daerah.

Hanya saja hal tersebut berdasarkan atas beberapa asumsi. Pertama, jenis investasi yang masuk. Kedua, masalah prospektif dari investasi tersebut dan iklim investasi.

Yusuf menyoroti prospektif dan iklim investasi dari kebijakan pemerintah yang menghapuskan minuman beralkohol dari daftar negatif investasi.

Baca Juga: Pemerintah buka investasi miras di empat provinsi, Kemenperin: Ada permintaan pemda

Ia menilai, Indonesia mempunyai pasar yang besar dengan jumlah penduduk yang besar dan banyak. Akan tetapi, jika berbicara konteks minuman beralkohol, konsumsi minuman beralkohol di Indonesia masih relatif kecil.

Setidaknya dalam tiga tahun terakhir yakni pada tahun 2017-2019, konsumsi per kapita minuman beralkohol di Indonesia mengalami perlambatan.

"Di tahun 2019 data terakhir menunjukkan rata-rata konsumsi 0,41 liter per tahun. Jumlah ini tentu relatif kecil," kata Yusuf kepada Kontan.co.id, Senin (1/3).

Artinya, jika berbicara prospek pangsa pasar, Yusuf menilai pangsa pasar minuman beralkohol relatif kecil. Sehingga, yang tadinya diharapkan investasi bisa masuk karena pangsa pasar nya besar, tetapi kenyataannya konsumsi minuman beralkohol kecil.

Kedua, iklim investasi. Melihat beragam pandangan dan tanggapan kelompok masyarakat, menunjukkan resistensi terhadap kebijakan tersebut.

Yusuf menilai, potensi resistensi masyarakat bisa menjadi semacam disinsentif bagi investor ketika ingin masuk ke jenis investasi industri minuman beralkohol.

"Ini tentu akan menjadi semacam menambah keraguan mereka untuk masuk ke jenis investasi ini," terang dia.

Terkait daerah khusus dalam Perpres tersebut, Yusuf menilai, jika ingin mendorong kinerja industri minuman beralkohol lokal bisa dilakukan dengan banyak cara di luar kebijakan tersebut. Misalnya, dukungan pemerintah daerah dalam mendorong investasi minuman beralkohol lokal terhadap daerah pariwisata.

"Jangan dilupakan juga bahwa selain konteks pendekatan analisa ekonomi, perlu dilihat juga dalam jangka panjang ada potensi negatif dari minuman beralkohol ini," tutur Yusuf.

Selanjutnya: Ekonom CORE: Industri minuman alkohol tidak mendorong pariwisata

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Working with GenAI : Promising Use Cases HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective

[X]
×