kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.951.000   -8.000   -0,41%
  • USD/IDR 16.304   -11,00   -0,07%
  • IDX 7.533   43,20   0,58%
  • KOMPAS100 1.070   7,34   0,69%
  • LQ45 793   -2,68   -0,34%
  • ISSI 254   0,66   0,26%
  • IDX30 409   -1,29   -0,31%
  • IDXHIDIV20 467   -2,82   -0,60%
  • IDX80 120   -0,30   -0,25%
  • IDXV30 124   0,09   0,07%
  • IDXQ30 131   -0,56   -0,43%

Kusut Masai Tanah di Depo Plumpang


Senin, 26 Januari 2009 / 14:33 WIB
Kusut Masai Tanah di Depo Plumpang
ILUSTRASI. JAKARTA, 20/9 - KUOTA BBM BERSUBSIDI. .FOTO ANTARA/Rosa Panggabean/ed/pd/10.


Reporter: Asnil Bambani Amri |

JAKARTA. PT Pertamina mengidamkan pembebasan lahan rumah warga di sekitar Depo Plumpang yang sudah padat pemukiman. Warga yang bermukim itu rela bertetangga dengan jutaan galon minyak yang setiap saat bisa meletup. Namun sayang, warga sulit digeser, status tanah yang mereka tempati memiliki rentetan sengketa yang belum terurai.

Tiga hari usai terjadinya peristiwa kebakaran tangki terbesar Depo Pertamina Plumpang, aktivitas warga yang menetap disekitar depo mulai mengeliat. Warga yang sebelumnya was-was dan mengungsi itu mulai melakukan aktivitas keseharian diantaranya menata kembali perabot rumah tangga yang sempat diungsikan.

Tapi tidak semua warga yang kembali ke pemukiman dan memilih tetap tinggal. Ada juga yang beranjak dari pemukiman tersebut untuk meninggalkan lokasi yang bertetangga dengan ancaman. "Kami mau pindah dari sini," kata salah seorang warga Tanah Merah yang berusaha memindahkan perabotannya kedalam mobil pick up dan memilih pindah dari pusat bahaya itu.

Pria setengah baya yang tidak mau ditulis namanya itu menyatakan ketidakmampuannya untuk hidup bertetangga dengan bahaya, baik itu ledakan atau kebakaran. Masih membayang di mata pria itu, bagaimana besarnya api dari tangki no 24 Pertamina memberikan trauma bagi keluarganya. Waktu itu, langit di Tanah Merah menjadi merah membara oleh api dari tangki yang terbakar.

Tapi kebanyakan warga masih memilih menetap di lokasi dengan berbagai macam alasan. Beberapa diantaranya beralasan tidak punya tempat tinggal setelah selama ini tinggal di tanah yang gratis alias tidak bayar PBB. "Kami memilih tetap di sini, walaupun beresiko," kata Bambang Suryadi (51 thn) Ketua Blok C Rawa Badak Selatan Bawah, Tanah Merah pekan lalu.

Bambang Suryadi merupakan salah satu warga yang menghuni tanah yang statusnya masih terselubung misteri itu. Bambang nekat tinggal di sana karena merasa tanah tersebut tidak bertuan. Apalagi proses pembebasan tanah tersebut mengalami sengketa yang belum kunjung usai. "Sejak tahun 1986 saya disini tidak ada yang melarang," kilah Bambang.

Awalnya, Bambang mendirikan gubug, lalu seiring berjalannya waktu Bambang pun mendirikan rumah permanen dengan tembok dan pondasi batu. Begitu juga dengan 3.400 kepala keluarga lainnya yang hidup bertetangga dengan tangki Depo Pertamina Plumpang. Pertamina menurut Bambang tidak kuasa mengusir mereka. "Pertamina sendiri tidak memiliki surat-surat kok, sehingga gak ada yang berani larang. Artinya ini tanah negara dan saya rakyat," tantang Bambang.

Selain kampung Rawa Badak Selatan yang dihuni Bambang, terdapat dua kampung lagi yang berdekatan dengan pagar Depo Pertamina yaitu kampung Tugu Selatan dan Kampung Kelapa Gading Barat. Menurut Bambang, dari tiga kampung itu terdapat 13 blok dengan jumlah kepala keluarga per bloknya antara 200-300 kepala keluarga. "Di kampung itu juga ada mesjid, mushala, gereja selain itu masih ada juga SMU, SMP dan SD," ucap Bambang.

Warga di sana memang sudah mendengar adanya rencana pembebasan lahan. "Tapi harus ada dialog jika kami harus menyingkir dari lokasi ini," tandas Bambang.

Tanah berstatus sengketa

Menurut mantan Ketua RW 02 di wilayah tanah Merah bernama Kartono (68),

sengketa tanah yang terjadi di kawasan Tanah Merah sudah terjadi sejak tanah tersebut dibebaskan pertama kalinya untuk Pertamina.

Kepada KONTAN, Kartono menjelaskan bagaimana kusutnya proses pembebasan tanah tersebut. Semua pihak ikut terlibat, mulai dari calo tanah, aparat pemerintahan hingga oknum tentara di tahun 1960-an ikut mengurus pembebasan tanah. "Kalau macam-macam waktu itu, maka kami bisa hilang," katanya.

Proses pembebasan tanah seperti yang diceritakan Bambang lebih banyak dilakukan oleh Yudha Jaya yang waktu itu menjabat sebagai lurah di lokasi itu. Yudha banyak membeli tanah dari warga betawi pribumi namun banyak yang tidak dilengkapi dengan bukti yang memadai. Bahkan, tidak seluruh transaksi jual beli tanah itu dibayar lunas kepada pemiliknya.

Masalahnya menjadi rumit, ketika ada pihak lain yang masuk yang diketahui bernama Ayu Kusama. Tanah warga yang sudah dijual warga kepada Yudha, dijual lagi oleh warga kepada Ayu Kusuma. "Ada tanah yang sudah dibebaskan Yudha tetapi juga dibeli lagi oleh Ayu Kusuma," kata Kartono.

Perseteruan antara kedua belah pihak membuat status tanah di kampung Tanah Merah menjadi masih abu-abu. Menurut Sholihin (53) warga betawi yang mengaku sebagai ahli waris tanah yang sudah dibeli Yudha menjelaskan, tanah yang ada di lokasi Depo Pertamina itu masih memiliki banyak masalah dengan warga. "Belum seluruhnya lunas ketika tanah dibebaskan," kata dia sambil menunjukan peta lokasi.

Berdasarkan penuturannya, tanah yang sudah dikuasai untuk Depo Pertamina saat itu ada seluas 80 hektar dari total 165,5 hektare lahan yang dibebaskan di tahun 1960. "Pertamina hanya menguasai 80 hektar, sisanya dihuni oleh warga yang datang dari mana-mana," tutur pria betawi itu.

Akibat konflik ini, pemerintah tentunya harus bekerja keras untuk membebaskan tanah tersebut agar bisa menjadi buffer zone Depo pertamina. Jika Pertamina memiliki bukti surat kepemilikan kuat atas tanah tersebut tentunya proses pengambilalihan hak bisa dilakukan. Namun, jika bukti kepemilikan tanah versi warga ini benar adanya, maka pembebasan lahan itu akan membutuhkan waktu yang lama. "Sekarang Pertamina itu tidak memiliki bukti surat yang kuat apa tidak dalam kepemilikan tanah itu," tegas Sholihin.

Sementara itu Yudha Jaya maupun Ayu Kusuma sudah keburu meninggal dunia. Tapi sengketa masih tersisa untuk ahli warisnya. Sementara itu, warga betawi sebagai pemilik awal mula tanah itu juga menunggu proses pelunasan tanah mereka. Status tanah di Tanah Merah, Plumpang memang bagaikan benang kusut yang sudah masai.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
Mitigasi Risiko SP2DK dan Pemeriksaan Pajak Executive Macro Mastery

[X]
×