Reporter: Abdul Basith | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pembahasan revisi Undang-Undang Badan Usaha Milik Negara (BUMN) memanas. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) usul bisa mengawasi seluruh gerak-gerik yang dilakukan oleh Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan anak-anak usahanya. Pengawasan terutama dilakukan pada langkah pemerintah dalam privatisasi BUMN.
Kewenangan itu rencananya akan masuk (RUU) BUMN. Tidak hanya BUMN, pengawasan terhadap privatisasi juga akan dilakukan terhadap seluruh perusahaan turunan BUMN. "Perubahan merger dan akuisisi atau apapun penjualan BUMN harus melalui persetujuan DPR, jadi BUMN itu termasuk anak hingga cicit BUMN," ujar Pimpinan Badan Legislasi (Baleg) DPR Supratman Andi Agtas usai rapat harmonisasi RUU BUMN, Kamis (5/7).
Pada pasal 107 RUU BUMN, Baleg memberikan catatan bahwa setiap tindakan terkait BUMN harus izin dari DPR. Ini berbeda dari UU No.19 tahun 2003. Pada pasal 82 ayat 2 dinyatakan, terhadap BUMN yang telah diseleksi dan memenuhi kriteria, maka hanya perlu mendapat rekomendasi Menteri Keuangan. Kepada DPR sifatnya hanya konsultasi dan sosialisasi.
Sebelumnya, pengawasan hanya dilakukan pada perusahaan induk yang disebut BUMN. Namun, pada RUU BUMN akan memasukkan semua termasuk pada perusahaan turuanannya. "Dalam UU BUMN yang lalu tidak masuk, sekarang kami masukan semua," terang Supratman.
Supratman bilang, hal ini dilakukan dalam rangka mempertajam pengawasan DPR. Meski begitu, DPR tidak ikut masuk dalam aturan teknis yaitu pergantian direksi.
Selain privatisasi, keterlibatan parlemen dalam pengawasan BUMN juga terkait pembentuan holding. "Holding harus melalui persetujuan DPR, itu sebelumnya tidak diatur," ujar Supratman.
Seperti diketahui saat ini Kementerian BUMN sedang marak melakukan pembentukan holding BUMN. Terakhir Kementerian BUMN meresmikan pembentukan holding BUMN Migas. Sebelumnya juga telah ada beberapa pembentukan holding, di antaranya holding pupuk, semen, perkebunan, kehutanan, dan tambang.
Menurut Supratman, pembentukan holding tidak akan berubah dengan adanya aturan baru pada RUU BUMN. "Pembentukan holding yang sudah ada tidak masalah tetapi selanjutnya setelah ada UU yang baru harus melalu persetujuam DPR," jelasnya.
Ketentuan tersebut diatur dalam pasal 119 ayat 2 RUU BUMN yang masih dalam tahap harmonisasi. Pada pasal 119 ayat 2 dituliskan bahwa penggabungan, peleburan, pengambilalihan, atau pemisahan BUMN yang diusulkan kepada menteri disampaikan kepada DPR untuk mendapat persetujuan.
Masih belum berubah
Kementerian BUMN menyatakan, sampai saat ini mekanisme privatisasi BUMN oleh pemerintah masih belum berubah. Proses privatisasi BUMN dilakukan seperti biasa, baik pada perusahaan BUMN maupun bekas BUMN yang telah menjadi anak usaha dalam holding BUMN.
"Saat ini, BUMN dan eks BUMN yang jadi anggota holding tetap melalu proses privatisasi sebagaimana biasanya tetap ke DPR," ujar Deputi Restrukturisasi dan Pengembangan Usaha Kementerian BUMN Aloysius K. Ro.
Namun Aloysius masih enggan berkomentar mengenai rencana penyertaan DPR dalam perizinan privatisasi BUMN dan perusahaan turunan BUMN, baik anak, cucu, maupun cicit BUMN.
Kewenangan yang besar dari DPR terkait keterlibatan terhadap BUMN ini sejatinya memang diatur dalam putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengharuskan pengawasan terhadap BUMN agar lebih ketat lagi.
Hanya saja, dengan kendali pengawasan yang besar dalam beleid baru nanti dikhawatirkan akan mengganggu proses bisnis BUMN itu sendiri.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News