kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.948.000   47.000   2,47%
  • USD/IDR 16.541   37,00   0,22%
  • IDX 7.538   53,43   0,71%
  • KOMPAS100 1.059   10,21   0,97%
  • LQ45 797   6,35   0,80%
  • ISSI 256   2,43   0,96%
  • IDX30 412   3,30   0,81%
  • IDXHIDIV20 468   1,72   0,37%
  • IDX80 120   1,05   0,88%
  • IDXV30 122   -0,41   -0,34%
  • IDXQ30 131   0,79   0,61%

Korporasi wajib membuka data Penerima Manfaat


Kamis, 08 Maret 2018 / 13:19 WIB
Korporasi wajib membuka data Penerima Manfaat
ILUSTRASI. Ilustrasi Uang dan grafik


Reporter: Ghina Ghaliya Quddus, Sinar Putri S.Utami, Tane Hadiyantono | Editor: Sanny Cicilia

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pemerintah akhirnya menerbitkan aturan yang mewajibkan setiap korporasi membuka siapa sebenarnya menerima manfaat atau beneficial owner dari usahanya. Aturan ini untuk menutup celah tindak pidana pencucian uang dan tindak pidana pendanaan terorisme.

Kewajiban itu termuat dalam Peraturan Presiden No. 13 Tahun 2018 tentang Penerapan Prinsip Mengenali Pemilik Manfaat dari Korporasi dalam Rangka Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang dan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme. Beleid itu ditandatangani Presiden Joko Widodo pada 1 Maret 2018.

Selain mewajibkan korporasi menetapkan pemilik manfaat mereka, beleid ini juga mewajibkan korporasi menyampaikan informasi yang benar kepada instansi pemerintah mengenai pemilik manfaat atas kegiatan korporasi dan memperbaruinya setahun sekali.

Korporasi itu bisa berbentuk perseroan terbatas (PT), yayasan, perkumpulan, koperasi, persekutuan komanditer, persekutuan firma, dan bentuk korporasi lain.

Penerima manfaat korporasi juga diatur dengan sejumlah kriteria. Untuk PT misalnya, seseorang ditetapkan menjadi pemilik manfaat bila saham, hak suara dan keuntungan yang mereka terima lebih dari 25% dari laba korporasi. Orang tersebut juga memiliki kewenangan mengangkat, menggantikan, atau memberhentikan anggota dewan direksi, dewan komisaris dan memiliki kewenangan mempengaruhi keputusan korporasi.

Wakil Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) Dian Ediana Rae mengatakan, aturan tersebut memang sengaja dirumuskan untuk memaksa korporasi membuka orang- orang yang berada di belakang bisnis mereka.

Dengan payung hukum tersebut diharapkan ke depan, upaya pencucian uang dan tindak pidana pendanaan terorisme dengan menggunakan korporasi bisa dicegah. "Ini untuk memudahkan PPATK dalam mengendus permainan kotor di korporasi. Selama ini Indonesia tidak mengatur kewajiban tersebut," katanya kepada KONTAN, Rabu (7/3).

Pengamat Perpajakan Danny Darussalam Tax Center (DDTC) Bawono Kristiaji mengatakan, walau ditujukan mencegah terjadinya tindak pidana pencucian uang dan pendanaan terorisme, keberadaan aturan tersebut memberikan banyak manfaat dari sisi perpajakan.

Sebab dengan kewajiban itu, otoritas pajak bisa menggunakan datanya untuk mencegah upaya wajib pajak melarikan diri dari kewajiban mereka. Kewajiban pajak bisa jadi alasan penerima manfaat menyamarkan dan memutus rantai kepemilikan, agar terhindar dari kewajiban membayar pajak, aturan ini bisa menutup itu, katanya.

Hanya saja bagi pengusaha, aturan ini tidak menyenangkan. Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Bidang Kebijakan Publik Danang Girindrawardana bilang, kewajiban ini blunder. "Kepemilikan korporasi bisa ditarik dari Ditjen AHU, di struktur PPh juga bisa terlihat nama-nama pemilik korporasi dan berapa besar persentase saham mereka," katanya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×