kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45931,36   3,72   0.40%
  • EMAS1.320.000 -0,38%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Kewajiban PCR dinilai memberatkan, YLKI: Pemerintah masih ingin batasi mobilitas


Minggu, 07 Juni 2020 / 16:56 WIB
Kewajiban PCR dinilai memberatkan, YLKI: Pemerintah masih ingin batasi mobilitas
ILUSTRASI. Petugas medis dari Kantor Kesehatan Pelabuhan (KKP) Kelas 1 Soekarno Hatta melakukan pengecekan kesehatan COVID-19 calon penumpang repatriasi sebelum melakukan penerbangan di Terminal 3 Bandara Soekarno Hatta, Tangerang, Banten, Senin (11/05). Pemerintah


Reporter: Amalia Nur Fitri | Editor: Wahyu T.Rahmawati

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Ketua Pengurus Harian Umum Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Tulus Abadi berpendapat aturan pemerintah yang mewajibkan calon penumpang melakukan tes polymerase chain reaction (PCR) sebelum bepergian jauh, memiliki pesan untuk mengendalikan mobilitas masyarakat.

Sebagai informasi, kewajiban tes PCR tercantum dalam Surat Edaran Gugus Tugas Nomor 4 Tahun 2020 yang selanjutnya dimutakhirkan dalam Surat Edaran Gugus Tugas Nomor 5 Tahun 2020 tentang penanganan Covid-19. Hal ini merupakan salah satu syarat yang harus dilengkapi penumpang sebelum melakukan perjalanan menggunakan transportasi umum, seperti pesawat, kereta api, bus, maupun kapal guna mencegah penularan virus corona.

Untuk menjalani tes tersebut, calon penumpang perlu merogoh kocek sekitar Rp 1,8 juta sampai Rp 2,5 juta untuk sekali tes PCR. Sedangkan untuk sekali rapid test, calon penumpang dikenai harga Rp 300.000 sampai Rp 500.000.

Baca Juga: Soal PCR dan rapid test, Kemenhub menjalankan aturan sesuai SE Gugus Tugas

"Saya menangkap persyaratan-persyaratan tersebut sebenarnya adalah upaya mengendalikan orang agar tidak mudah bepergian jika tidak mendesak (urgent). Apalagi jika tujuannya hanya untuk wisata," ujar Tulus saat dihubungi Kontan.co.id, Jumat (5/6).

Tulus menambahkan, saat ini masyarakat masih menyadari tingkat pengendalian virus corona masih belum maksimal. Hal ini dilihat dari keadaan persebaran virus COVID-19 di berbagai daerah yang masih rawan. Dengan demikian, pelonggaran PSBB tidak otomatis dapat mengangkat minat masyarakat untuk berwisata atau bepergian.

Bahkan Tulus berkata pemerintah sebenarnya belum layak melakukan pelonggaran karena tingkat RO secara nasional masih di atas 1. Artinya, berdasarkan aturan WHO, tingkat penularan virus di Indonesia masih berada dalam kategori tinggi.

Baca Juga: Tim Covid-19 Hunter Jatim sudah lakukan 1.279 rapid tes dan dapatkan 82 reaktif

"Jika berbicara soal kemungkinan lain untuk bepergian, mungkin berwisata di level lokal masih bisa dilakukan. Misalnya mempertimbangkan agar masyarakat dari zona hijau tidak perlu dikenakan tes PCR untuk bepergian, sedangkan masyarakat dari zona merah dilarang bepergian. Tapi saat ini kan, hampir semua daerah sudah berzona merah," lanjutnya lagi.

Tulus juga berkata, sebaiknya protokol kesehatan ini tidak hanya ketat diberlakukan di bandara atau udara, tetapi juga di laut apalagi darat. Pasalnya, lanjut dia, dengan adanya jalan tol TransJawa dan Trans Sumatra siapapun bisa dengan mudah bepergian.

"Persentase masyarakat yang bepergian dengan transportasi udara kecil, kalau dibandingkan dengan transportasi darat. Tetapi peraturan di darat tidak seketat di udara. Seharusnya semua sama ketatnya agar tidak ada diskriminasi," pungkasnya.

Baca Juga: Sebanyak 394.068 spesimen telah dilakukan pengujian virus corona (Covid-19)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
EVolution Seminar Supply Chain Management on Sales and Operations Planning (S&OP)

[X]
×