Sumber: Kompas.com | Editor: Sanny Cicilia
JAKARTA. Kepala Badan Keamanan Laut (Bakamla) Arie Soedewo diduga terlibat dalam kasus dugaan suap terkait pengadaan monitoring satelit di Bakamla.
Arie disebut meminta keuntungan atau fee sebesar 7,5% dari nilai proyek sebesar Rp 222,4 miliar.
Hal itu dijelaskan dalam surat dakwaan jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap pegawai PT Merial Esa, Hardy Stefanus.
Hardy didakwa menyuap empat pejabat di Badan Keamanan Laut.
"Pada saat itu, Arie Soedewo menyampaikan dari jatah 15% dari nilai pengadaan, untuk Bakamla mendapatkan jatah 7,5%," ujar jaksa Kiki Ahmad Yani, di Pengadilan Tipikor Jakarta, Kamis (9/3).
Pemberian suap kepada empat pejabat Bakamla awalnya bertujuan agar perusahaan milik Fahmi Darmawansyah, yakni PT Melati Technofo Indonesia, dimenangkan dalam kegiatan pengadaan monitoring satelit di Bakamla.
Keikutsertaan perusahaan milik Fahmi diawali kedatangan politisi PDI Perjuangan Ali Fahmi alias Fahmi Habsyi dan Kepala Bakamla Arie Soedewo ke Kantor PT Merial Esa di Jalan Imam Bonjol, Jakarta.
Dalam pertemuan itu, Ali Fahmi menawarkan Fahmi Darmawansyah yang juga Direktur Utama PT Merial Esa untuk bermain proyek di Bakamla.
Namun, Fahmi diminta untuk mengikuti arahan Ali Fahmi, dan memberikan fee sebesar 15% dari nilai pengadaan.
Selanjutnya, Ali Fahmi mengatakan kepada Fahmi bahwa anggaran telah disetujui sebesar Rp 400 miliar.
Untuk itu, Ali Fahmi meminta pembayaran fee di muka sebesar 6% dari nilai anggaran.
Menindaklanjuti hal itu, pegawai PT Merial Esa, Muhammad Adami Okta kemudian menyerahkan uang Rp 24 miliar kepada Ali Fahmi.
Selanjutnya, Fahmi mengikuti proses lelang pengadaan monitoring satelit dan pengadaan drone di Bakamla.
Fahmi diberitahu oleh Ali bahwa pengadaan monitoring satelit akan dilaksanakan oleh PT Melati Technofo, sementara pengadaan drone akan dilakukan PT Merial Esa.
Namun, dalam prosesnya, anggaran untuk pengadaan monitoring satelit dipotong oleh Kementerian Keuangan, sehingga anggaran berubah menjadi Rp 222,4 miliar.
Kemudian, sekitar bulan Oktober 2016, di ruangan Kepala Bakamla, Arie Soedewo dan kuasa pengguna anggaran (KPA) Satuan Kerja Bakamla Tahun Anggaran 2016 Bakamla, Eko Susilo Hadi, membahas jatah 7,5% fee untuk Bakamla.
Ari Soedewo kemudian meminta agar fee sebesar 2% dibayarkan lebih dulu.
Arie Soedewo kemudian meminta Eko Susilo Hadi membicarakan fee 2% itu kepada dua pegawai PT Merial Esa, yakni Hardy Stefanus dan Adami Okta. Permintaan itu kemudian disetujui oleh Adami Okta.
Setelah itu, Arie Soedewo menyampaikan kepada Eko Susilo untuk memberi Bambang Udoyo, selaku Direktur Data dan Informasi pada Deputi Bidang Informasi, Hukum dan Kerja Sama Bakamla dan Kepala Biro Perencanaan dan Organisasi Bakamla Nofel Hasan, masing-masing Rp 1 miliar.
Eko Susilo kemudian menindaklanjutinya, dan meminta kepada Adami Okta agar uang yang diberikan dalam bentuk pecahan dollar Singapura.
Hal itu kemudian dipenuhi seluruhnya oleh Adami Okta.
Dalam surat dakwaan, dua pegawai PT Merial Esa, yakni Hardy Stefanus dan Muhammad Adami Okta didakwa menyuap empat pejabat Bakamla sebesar 209.500 dollar Singapura, 78.500 dollar AS dan Rp 120 juta.
Suap tersebut diberikan terkait pengadaan monitoring satelit di Bakamla. (Abba Gabrillin)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News