Reporter: Lidya Yuniartha | Editor: Sanny Cicilia
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Akhirnya, Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) resmi menetapkan Budi Waseso sebagai Direktur Utama Bulog. Seperti yang ditulis KONTAN sebelumnya, mantan Kepala Badan Narkotika Nasional (BNN) itu menggantikan posisi Djarot Kusumayakti..
Keputusan ini tertuang dalam Surat Keputusan Menteri BUMN No SK-115/MBU/04/2018. Menteri BUMN juga mengangkat Triyana menjadi Direktur Keuangan Bulog menggantikan Pardiman. Lalu, Teten Masduki sebagai Ketua Dewan Pengawas Bulog menggantikan Sudar Sastro Atmojo.
Wahyu Kuncoro, Deputi Bidang Usaha Industri Agro Kementerian BUMN, menyatakan, pergantian direksi Bulog merupakan penyegaran di tubuh perusahaan yang berdiri tahun 1967 itu. Harapannya, manajemen baru di bawah kepemimpinan Buwas, panggilan Budi Waseso, bisa memperkuat peran Bulog sebagai stabilisator harga pangan.
Nah, boleh dibilang, kursi nomor satu Bulog memang panas. Belum genap empat tahun, posisi Dirut Bulog sudah berganti tiga kali.
Maklum, kinerja Bulog sebagai stabilisator harga pangan banyak disorot. Utamanya pengendalian harga beras yang tetap tinggi.
Kementerian Perdagangan mencatat, harga rata-rata nasional beras medium pada Jumat (27/4) Rp 10.488 per kilogram (kg). Padahal, pemerintah menetapkan harga eceran tertinggi (HET) beras medium untuk wilayah Lampung, Sumatra Selatan, Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara Rp 9.450 per kg. Bahkan di pasar tradisional di Jakarta, harga beras medium berada di atas Rp 11.000 per kg.
Ada hambatan
Sutarto Alimoeso, Ketua Umum Persatuan Pengusaha Penggilingan Beras dan Padi (Perpadi), menilai, pergantian direktur utama bukan obat mujarab bagi Bulog. Sebab, masalah Bulog adalah ketidakjelasan posisi. "Bulog sebagai stabilisator pangan, tapi masih dibebani dengan untung rugi," tegasnya.
Khudori, pengamat pertanian, juga menyayangkan perombakan direksi Bulog yang hanya sekitar dua minggu sebelum bulan puasa. Soalnya, Buwas, purnawirawan jenderal polisi bintang tiga, merupakan orang baru di sektor pangan. "Budi Waseso perlu mempelajari, konsolidasi tim, dan memetakan persoalan yang dihadapi. Ini, kan, butuh waktu. Padahal, tugas-tugas berat terkait Ramadan terutama memastikan stok dan stabilisasi harga pangan membutuhkan aksi segera," kata Khudori.
Dwi Andreas Santosa, pengamat pertanian, menilai, tata kelola pangan bukan hal sederhana, dan bukan semata urusan Bulog semata. Ada banyak faktor yang memengaruhinya. "Awal menjabat harus menyesuaikan diri. Padahal sebentar lagi puasa," kata Andreas.
Di sisi lain, tugas Bulog tak bisa lincah menyerap gabah petani saat musim panen raya padi. Sebab, Bulog terkendala harga pembelian. Inpres No 5/2016 membatasi harga pembelian gabah maksimal Rp 4.650 per kg.
Belum lagi, Kementerian Pertanian tidak membekali data akurat mengenai produksi pangan lokal. Di sinilah peran Bulog acap salah sasaran karena data tak akurat. Jadi, urusan beras selalu panas, Pak Buwas.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News