Reporter: Anastasia Lilin Y, Arief Ardiansyah, Herry Prasetyo, Dadan M. Ramdan, Francisca Bertha Vistika, Lamgiat Siringoringo | Editor: Imanuel Alexander
Jakarta. Andai peluit otomatis bisa berbunyi ketika level batas atas terlampaui, maka peluit tersebut sudah berbunyi lima kali untuk rupiah. Sebab, epanjang tahun ini, mata uang kebanggaan kita sudah tembus level psikologis yakni Rp 10.000 per satu dollar Amerika Serikat (AS) pada penutupan perdagangan di pasar spot.
Merujuk data Bloomberg, peluit pertama berbunyi pertama kali 10 Juni 2013, kala mata uang garuda ditutup pada Rp 10.087. Empat bunyi peluit lain juga terdengar pada bulan yang sama yaitu pada 19, 21, 24, dan 28 Juni. Ketika itu, rupiah ditutup pada level masing-masing Rp 10.026, Rp 10.011, Rp 10.009, serta Rp 10.004.
Memang, sih, kalau melongok data Bank Indonesia (BI), rupiah di kurs tengah BI masih “aman” karena selama tahun ini belum menyentuh Rp 10.000. Rupiah tercatat paling loyo di Rp 9.970, Kamis (11/7).
Sejatinya, level Rp 10.000 sudah jauh-jauh hari ditinggalkan sejak 14 April 2009 silam. Kala itu, rupiah terakhir kali ditutup di angka Rp 10.850.
Tak heran, bank sentral terlihat khawatir lalu mengerek BI rate menjadi 6,5%, Kamis (11/7). BI berharap, dengan cara ini stabilitas rupiah terjaga. Selain stabilitas rupiah, BI juga berharap kenaikan BI rate jitu menahan laju infl asi yang mulai kedodoran pada Juni lalu.
Gubernur BI Agus Martowardojo bilang, kenaikan tarif transportasi dan harga komoditas pangan, seperti daging ayam, daging sapi, dan beras, di atas ekspektasi. Alhasil, ada revisi pada ekspektasi infl asi year on year (yoy) Juli, dari semula 7,2% menjadi 7,2%–7,8%. “Kami sudah melihat dampak dari kenaikan harga BBM bersubsidi dan perkembangan dunia serta nilai tukar,” ujar Agus.
Di mata para ekonom, mengerek BI rate adalah kebijakan yang tepat saat ini. Menurut ekonom Adrian Panggabean, kenaikan BI rate yang biasanya disusul kenaikan suku bunga Fasilitas Simpanan Bank Indonesia (FasBI) akan mengerek bunga kredit pemilikan rumah (KPR). “BI terlihat agresif menurunkan overheating harga properti. Hal ini akan berdampak bagus,” kata dia.
Banyak ganjalan
Namun, ekonom dari Samuel Sekuritas Lana Soelistyaningsih menilai, pelemahan rupiah lebih disebabkan neraca perdagangan negara kita yang tidak sehat. Jadi “Langkah ini adalah obat keras yang cuma cespleng, sementara penyakit ekonomi kita banyak,” tegas Lana.
Kalau ingin nafas penguatan tak hanya sesaat, mestinya pemerintah memikirkan cara untuk menyehatkan neraca perdagangan yang defisit di sektor riil. Caranya, dengan mengupayakan ketersediaan bahan baku produksi untuk meminimalisasi impor bahan baku, plus memperbaiki infrastruktur.
Tapi, Lana melihat banyak ganjalan jika pemerintah memang ingin serius menyelesaikan masalah ini. Pertama, pemerintah baru menata ulang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBNP) pada Juni kemarin. Proses hingga dana cair ke kementerian akan butuh waktu. Kedua, bulan puasa bakal menggoyahkan konsentrasi pemerintah. Alhasil, dia memprediksikan, serapan belanja negara tak optimal tahun ini.
Ekonom Standard Chartered Bank Eric Alexander Sugandi dan pengamat pasar uang Lindawati Susanto kompak menyebutkan masalah lain yang membuat rupiah longsor, yakni sentimen global khususnya sinyal perbaikan dari AS.
Kabar terbaru dari Negeri Uwak Sam, The Federal Reserve (The Fed), bank sentral AS, baru saja mengeluarkan sinyal bakal memangkas stimulus. Meski belum ketahuan berapa esar duit yang bakal digunting dari total stimulus senilai US$ 85 miliar per bulan, pernyataan Gubernur The Fed Ben Bernanke memberikan kepastian bagi pelaku pasar untuk melangkah. Jika tak meleset, The Fed akan memastikan pemangkasan stimulus September nanti.
Ketidakpastian yang menguar dari AS dan kondisi krisis global yang sebenarnya belum pulih menyebabkan pelaku pasar wait and see untuk memarkir dana. Dampak ke Tanah Air, investor asing memilih menarik penempatan dana mereka.
Tengok saja, dana asing di pasar surat utang pada Juni lalu sudah melorot menjadi Rp 282,96 triliun, padahal di bulan sebelumnya masih sebesar Rp 302,94 triliun.
Level waspada
Para ekonom pun memberikan prediksi beragam atas rupiah dan keberlangsungan BI rate. Lana menganalisis langkah BI menaikkan BI rate bisa menahan rupiah untuk bergerak di level Rp 9.850–9.950, setidaknya hingga September nanti. Lindawati melihat, hingga akhir Juli rupiah masih mungkin terjaga di bawah Rp 10.000.
Lalu, Lindawati dan Eric sama-sama memproyeksikan BI masih akan menaikkan suku bunga acuan hingga menjadi 7% akhir tahun. Lalu, diikuti kenaikan FasBI jadi 5,25%.
Bagaimana dengan para pelaku usaha yang memiliki aktivitas ekspor maupun impor? Tanpa perjanjian, para pelaku pasar kompak mendendangkan harapan agar kurs rupiah di bawah Rp 11.000 atau mentok di Rp 10.000 per dollar AS.
Thomas Sembiring, Chief Executive Offi cer (CEO) Asosiasi Pengusaha Importir Daging Sapi (Aspidi) bilang, sampai saat ini dampak fluktuasi rupiah belum begitu besar terhadap kinerja impor, karena posisi nilai tukar masih di bawah Rp 10.000. “Kalau sudah di atas Rp 11.000, baru dampaknya akan besar,” ujar dia.
Hengky Setiawan, Komisaris Utama PT Tiphone Mobile Indosia, mengatakan, jika sudah di atas batas toleransi yakni menginjak Rp 11.000, importir mesti mengerek harga jual. Dan, Ekonom Indef Ahmad Erani Yustika memberi sinyal bahaya pelemahan rupiah ini.
Sementara bagi eksportir furnitur seperti Oki Widiyanto, dia mengangankan pemerintah bisa gesit menguatkan otot rupiah hingga kembali ke level Rp 9.500-an. Bagi dia, meski eksportir diuntungkan dengan penguatan dollar AS, hal itu tak lantas bisa mengkompensasi biaya operasional yang membengkak sebagai dampak kenaikan BBM subsidi. “Rata-rata kenaikan komponen produksi naik 20%,” beber Oki.
Jawaban Oki diamini Pranoto Soenarto, Wakil Ketua Asosiasi Eksportir Kopi Indonesia (AEKI), dan Khafi d Sirotuddin, Ketua Umum Asosiasi Eksportir Importir Buah dan Sayuran Segar Indonesia, yang juga mengalami kendala serupa.
Ya, semoga pemerintah benar-benar bisa memberi obat cespleng untuk waktu lama.
***Sumber : KONTAN MINGGUAN 42 - XVII, 2013 Laporan Utama
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News