Reporter: Anastasia Lilin Y, Lamgiat Siringoringo, Dadan M. Ramdan, Francisca Bertha Vistika, Arief Ardiansyah | Editor: Imanuel Alexander
Jakarta. Tak biasanya, prediksi pertumbuhan ekonomi dari sebuah bank sentral hanya bertahan kurang dari sepekan untuk kemudian direvisi lagi. Itulah yang terjadi pada penurunan proyeksi pertumbuhan ekonomi negara kita dari Bank Indonesia (BI).
Sembari mengumumkan kenaikan suku bunga acuan, BI juga menurunkan proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun 2013 jadi kisaran 5,8%–6,2%. Awal 2013, BI yakin pertumbuhan ekonomi di level 6,3%–6,9%. Pada 5 Juli lalu, BI memangkas target pertumbuhan ekonomi 6,2%–6,6%.
Gubernur BI Agus Martowardojo mengatakan, penurunan proyeksi ini lantaran perlambatan pertumbuhan pada kuartal II dan III. Konsumsi rumahtangga masih tertekan lantaran penurunan daya beli sebagai dampak kenaikan harga BBM. Di sisi lain, investasi dan ekspor juga terganjal kondisi ekonomi global yang belum stabil.
Ekonom Samuel Sekuritas Lana Soelistyaningsih menyebut penurunan proyeksi ini menjadi bukti nyata adanya masalah pada neraca pembayaran dan neraca perdagangan kita. Angka 5,8%–5,9% itu sejatinya rata-rata pertumbuhan ekonomi kita tujuh tahun terakhir.
Menurut Lana, tiga tahun terakhir, pertumbuhan kita tergolong abnormal. Angka pertumbuhan tinggi itu mendongkrak produk domestik bruto (PDB) dan daya beli masyarakat. Peningkatan permintaan ini mendorong tingkat konsumsi makin tinggi yang diimbangi dengan peningkatan produksi. “Sayang, kenaikan produksi tidak diikuti ketersediaan barang setengah jadi dan menaikkan impor bahan baku,” kata Lana.
Kebetulan, pada saat yang sama harga komoditas menurun karena ekonomi China melambat. Inilah yang membuat Indonesia mengalami defisit neraca perdagangan. Sepanjang tahun ini, hanya di bulan Maret, neraca perdagangan kita positif. Selebihnya, bahkan sejak kuartal IV-2012, neraca perdagangan kita selalu negatif.
Ekonom Standard Chartered Bank Eric Alexander Sugandi juga mendapati masalah struktural dalam neraca dagang. Tujuh tahun terakhir, Indonesia mengalami ketergantungan ekspor komoditas yang semakin tinggi. Contohnya, batubara yang mengalami pertumbuhan ekspor besar-besaran.
Saat harga batubara tertekan lantaran penurunan permintaan dari China dan India, pasar mengalami kelebihan pasokan. Khususnya, banjir pasokan batubara berkalori rendah, buah dari eksploitasi berlebihan yang digelontorkan ke pasar.
Ekonom Bank Central Asia David Sumual menambahkan, ketergantungan ekspor komoditas Indonesia tergolong besar.Kenyataan ini tentu rawan perekonomian global turun. “Saat ini, 24% ekspor kita berupa komoditas,” katanya.
Dari sisi impor, problem struktural yang terjadi adalah ketergantungan terhadap bahan baku (raw material) dan barang modal seperti yang diungkap Lana. Eric melihat pemerintah tidak akan bisa menyelesaikan masalah ini dengan cepat. Eric berharap, pemerintah bisa memulai perbaikan ini dengan pemberian insentif bagi industri capital good.
Kecepatan penyelesaian masalah ketergantungan impor bahan baku juga menjadi kekhawatiran ekonom Indef Ahmad Erani Yustika. Posisi impor bahan baku dalam industri kita bagaikan buah simalakama. Jika pengusaha tetap impor neraca perdagangan defisit, tapi tanpa impor industri kita bisa berhenti. “Sementara switching untuk industri berbasis sumberdaya domestik butuh waktu,” ungkap Erani.
Lebih jauh, Eric memaparkan analisis berupa efek samping dari peningkatan suku bunga acuan oleh bank sentral. Selain meredam infl asi, kebijakan ini juga bisa mengurangi tekanan impor. Sebab, selama ini sebagian besar kredit perbankan digunakan untuk membeli barang modal dan bahan baku.
Kenaikan BI rate membuatperbankan mulai mengendalikan penyaluran kredit. “Hal ini yang membuat permintaan impor melambat dan bisa menekan defisit neraca perdagangan Indonesia,” kata Eric.
Berbicara neraca perdagangan, ekonom Adrian Panggabean menyoroti tekanan impor dari pelemahan rupiah. Di sini, de-presiasi mata uang menjadi berita bagus bagi para eksportir. Dia berharap, BI lebih bijaksana dalam menyikapi tekanan berupa apresiasi dan depresiasi nilai tukar bagi perdagangan.
Adrian berpendapat, kebijakan penguatan rupiah demi memudahkan impor di saat pertumbuhan ekonomi dunia tengah lemah kurang tepat. “Pembiayaan impor barang modal tidak mendukung pertumbuhan ekonomi,” ujarnya.
Tak kalah menarik, Mei lalu, neraca perdagangan kita mencatatkan pertumbuhan impor barang konsumsi yang signifikan, 19,28% dibanding bulan sebelumnya. Impor barang konsumsi bulan Mei mencapai US$ 1,28 miliar. Pelemahan rupiah bisa menjadi pendorong inflasi saat barang konsumsi impor itu beredar di pasar domestik.
Adrian tak hanya menyoroti inflasi barang konsumsi impor lantaran pelemahan rupiah. Berbagai kasus impor barang konsumsi yang beraroma korupsi dan bersifat inflatoir merebak sepanjang tahun ini. Sebut saja kenaikan harga bawang putih gila-gilaan hingga dugaan korupsi impor daging sapi.
Menurut Adrian, inti dari kasus-kasus tersebut adalah pengaturan tata niaga. Dia melihat, pengaturan tata niaga impor barang konsumsi menuju pembentukan harga di pasar lokal seharusnya bisa lebih rasional. Bila pemerintah bisa membereskan masalah tata niaga, inflasi dari sisi suplai otomatis teratasi. “Ini sangat membantu sistem moneter dan stabilitas keuangan,” kata Adrian.
Pengusaha terpukul
Itu tadi omongan para ekonom di atas kertas. Di lapangan, kalangan eksportir mengaku tak mendapat keuntungan nyata dari penguatan dolar Amerika Serikat (AS). Eksportir craft furniture Oki Widiyanto mengaku pelemahan rupiah sekian ratus perak ini bisa memberinya tambahan keuntungan.
Masalahnya, pada saat bersamaan, Oki harus menerima kenyataan adanya peningkatan harga komponen produksi sekitar 20% sebagai efek dari kenaikan harga BBM bersubsidi. Dan, baru kali ini kenaikan harga BBM bisa berefek sedemikian besar pada komponen produksinya. Oki menyebut, kenaikan harga komponen produksi lebih dari 10% dalam waktu singkat itu tergolong abnormal. “Ini tahun terburuk selama saya berbisnis,” keluh Oki.
Wakil Ketua Asosiasi Eksportir Kopi Indonesia Pranoto Soenarto juga mengeluhkan perkara serupa. Pelemahan rupiah tak sebanding dengan inflasi akibat kenaikan harga BBM bersubsidi. Pengusaha kopi juga tertekan imbas di pasar global. “Saat rupiah melemah, pembeli rewel soal kualitas dan lainnya, yang berujung minta harga turun,” ujar dia.
Dari sisi importir, ketidakstabilan nilai tukar menggerus bisnis mereka. Ketua Asosiasi Importir Kendaraan Indonesia Tommy R. Dwiananda mengeluhkan penjualan ritel mobil completely built up yang anjlok sejak akhir Juni. Fluktuasi rupiah memaksa Tommy kerap melakukan perubahan harga. “Kami bingung menentukan harga dan konsumen bingung karena harga yang berubah-ubah,” kata Tommy.
Dilema dalam menjalankan bisnis ekspor dan impor juga dirasakan Khafid Sirotuddin, Ketua Umum Asosiasi Eksportir Importir Buah dan Sayuran Segar Indonesia. Sebagian besar pengusaha di asosiasi ini berstatus eksportir sekaligus importir. “Setelah ekspor dapat dolar langsung belanja untuk impor. Ditambah efek kenaikan harga BBM, ya, berat bagi kami,” ungkap Khafid.
Sekretaris Jenderal Gabungan Importir Nasional Indonesia Achmad Ridwan Tento mengatakan, baik importir maupun eksportir sama-sama terpukul saat ini. Tak sedikit eksportir yang memakai bahan baku yang didapat dari impor. “Kami semakin terjepit karena tidak bisa menaikkan harga jual lantaran daya beli masyarakat yang sedang rendah,” katanya.
Ya, jadi serba salah.
***Sumber : KONTAN MINGGUAN 42 - XVII, 2013 Laporan Utama
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News