Reporter: Vendi Yhulia Susanto | Editor: Yudho Winarto
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) melalukan rapat koordinasi (rakor) RUU Omnibus Law Cipta Kerja substansi ketenagakerjaan dengan kepala dinas ketenagakerjaan seluruh Indonesia.
Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziah mengatakan, penyelenggarakan rakor ini di antaranya untuk kesepahaman antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah pada RUU Cipta Kerja substansi ketenagakerjaan. Selain itu, pertemuan ini untuk menerima masukan seputar ketenagakerjaan dari masing-masing daerah.
Ida mengingatkan, agar pemerintah pusat dan pemerintah daerah mesti bersama-sama menjaga keseimbangan antara kepentingan pekerja/buruh dan kepentingan pengusaha, karena keduanya tidak bisa berjalan sendiri-sendiri.
Baca Juga: Pelaku industri sawit kawal pengaturan perkebunan dalam RUU cipta kerja
"Suasana hubungan industrial yang harmonis dan dinamis harus tetap dijaga agar kelangsungan bekerja dan kelangsungan usaha tetap dapat berjalan," kata Ida, Kamis (20/2).
Ida mengatakan, persoalan ketenagakerjaan bukan hanya terkait dengan pemenuhan kerja layak bagi pekerja/buruh yang bekerja saja baik di sektor formal maupun informal.
Akan tetapi juga menyangkut bagaimana memecahkan persoalan tenaga kerja yang belum bekerja dan pekerja/buruh yang mengalami pemutusan hubungan kerja.
Ida menyebutkan, dari data Sakernas BPS 2019, dapat dilihat masih terdapat 7,05 juta pengangguran; 2,24 juta angkatan kerja baru; 8,14 juta kelompok setengah penganggur, dan 28,41 juta pekerja paruh waktu (45,84 juta angkatan kerja yang bekerja tidak penuh).
Sementara itu, jumlah penduduk yang bekerja pada kegiatan informal sebanyak 70,49 juta orang (atau sama dengan 55,72 persen dari total penduduk yang bekerja).
Baca Juga: Omnibus law menjadi angin segar bagi emiten tambang
"Dari struktur ketenagakerjaan tersebut, kita tahu ini tidak mudah dan oleh karena itu perlu upaya bersama untuk memecahkan persoalan tersebut," ungkap dia.
Ida menyatakan, untuk mengatasi persoalan tersebut, upaya yang bisa dilakukan adalah dengan memperluas lapangan kerja melalui pemberian kesempatan dan fasilitas kemudahan berusaha dengan tetap menjaga perlindungan terhadap pekerja/buruh yang bekerja.
Selain itu upaya reformasi birokrasi, penyederhanaan perizinan, dan perubahan regulasi juga diperlukan untuk dapat menciptakan ekosistem berusaha dan bekerja yang lebih baik.
Disisi lain, dalam praktiknya tingkat kepatuhan perusahaan untuk memenuhi pembayaran kompensasi PHK sesuai peraturan sangat rendah.
Berdasarkan data Kementerian Ketenagakerjaan pada tahun 2019, dari sekitar 536 persetujuan bersama (PB) pemutusan hubungan kerja, yang memenuhi pembayaran kompensasi sesuai dengan ketentuan UU 13/2003, hanya sekitar 147 persetujuan bersama atau sekitar 27%.
Baca Juga: Dharma Satya Nusantara (DSNG) masih kaji potensi omnibus law
Sedangkan sisanya sebanyak 384 persetujuan bersama atau sekitar 73% tidak melakukan pembayaran kompensasi PHK sesuai dengan UU 13/2003.
Data ini sejalan dengan laporan World Bank yang mengutip data Sakernas BPS 2018, dimana berdasarkan laporan pekerja sebanyak 66% pekerja sama sekali tidak mendapat pesangon, 27 % pekerja menerima pesangon dari yang seharusnya diterima sesuai UU 13/2003 dan hanya 7% pekerja yang menerima pesangon sesuai dengan ketentuan UU 13/2003.
"Berdasarkan persoalan-persoalan yang dihadapi tersebut, maka diperlukan penataan ulang ketentuan ketenagakerjaan melalui Omnibus Law Cipta Kerja yang berfokus pada upaya penciptaaan lapangan kerja yang seluas-luasnya dengan tetap menjaga perlindungan bagi pekerja/buruh," jelas dia.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News